Darian Sentanu Sang Penjaga Malam Yogyakarta - Origin Short Story


# Penjaga Malam Yogyakarta

Suara denting lonceng kecil menandai seseorang memasuki toko batik "Sekar Jagad" di sudut Malioboro. Matahari telah tenggelam dan lampu-lampu jalan mulai menyala, memberikan kilau keemasan pada kain-kain batik yang tergantung rapi di dinding kayu toko.

Darian Sentanu sedang melipat batik pesanan terakhir ketika rombongan turis itu datang. Ia tersenyum ramah—sebuah kebiasaan yang dulu terasa begitu asing baginya.

"Permisi, kami ingin melihat-lihat koleksi batik klasik Anda," ujar pemimpin rombongan dengan logat asing yang kental.

"Silakan, Pak. Koleksi batik klasik kami ada di sebelah kanan," jawab Darian sopan sambil menunjukkan arah.

Pak Harto, pemilik toko, tersenyum bangga melihat sikap Darian. Siapa sangka pemuda yang dulu terkenal brutal kini bisa bersikap begitu santun? Darian masih ingat betul bagaimana dulu, di usia 13 tahun, ia kerap mencari keributan dengan teman-teman seusianya atau bahkan orang dewasa yang terlalu keras padanya. Ibunya sampai tak kuat menghadapi sifatnya yang temperamental.

Darian menatap kain batik di tangannya sambil menghela napas. Ia bersyukur pamannya dulu membawanya ke Bantul dan memaksanya bergabung dengan perguruan pencak silat Persaudaraan Jiwa. Di sanalah ia belajar mengendalikan emosinya, di bawah didikan keras para guru yang tak kenal kompromi. Digabungkan dengan pendidikan agama yang ketat di sekolahnya di Bantul, perlahan Darian berubah.




---

Malam semakin larut. Rombongan turis telah meninggalkan toko dengan membawa hampir setengah stok batik klasik. Bu Sari, kasir toko, mengerutkan dahi.

"Pak, sepertinya ada kesalahan penghitungan," ucapnya pada Pak Harto. "Totalnya tidak sesuai dengan jumlah barang yang terjual."

"Coba kita hitung ulang," Pak Harto mendesah. Ini berarti mereka harus lembur malam ini.

Darian sedang membantu menghitung ulang ketika pintu toko tiba-tiba terbuka dengan kasar. Lima orang berhelm hitam menerobos masuk. Salah satunya menodongkan pistol.

"Serahkan uangnya!" teriak pria berhelm itu. "Sekarang!"

Pegawai lain terlihat ketakutan. Bu Sari menangis tertahan. Jantung Darian berdegup kencang. Tangannya gatal ingin bergerak, tapi suara Kiai Slamet, guru silatnya, bergema di kepalanya: *"Hidup bukan untuk mencari pertarungan. Jika situasi masih bisa dikendalikan, tahanlah dirimu."*

"Tenang, ambil saja uangnya," ucap Darian perlahan, berusaha menenangkan situasi.

Tapi Pak Harto memiliki rencana lain. Dengan gerakan cepat, ia menarik sebuah pistol dari laci kasir.

"Keluar dari tokoku, bajingan!" teriaknya sambil menembakkan peluru peringatan.

Situasi berubah kacau dalam sekejap. Suara tembakan memenuhi ruangan. Darian melompat ke bawah meja, melindungi diri dari hujan peluru. Saat ia membuka mata, pemandangan mengerikan menyambutnya—Pak Harto tergeletak bersimbah darah. Dua pegawai lainnya tak bergerak. Empat pegawai lain merintih kesakitan.

Amarah meledak dalam dada Darian. Dengan satu tarikan napas dalam, ia melompat dari persembunyiannya.

"Allahu Akbar!" teriaknya sambil melancarkan tendangan keras pada perampok terdekat.

Gerakan Darian seperti air—mengalir cepat dan mematikan, teknik khas Persaudaraan Jiwa yang telah mendarah daging. Dalam hitungan menit, tiga perampok tersisa tergeletak lumpuh di lantai toko.

---

"Mereka menyebut dirimu 'Penjaga Malam'," Fajar, rekan kerja Darian di toko batik barunya, menunjukkan halaman depan koran lokal.

Darian hanya tersenyum tipis. Sudah enam bulan sejak tragedi itu, dan selama enam bulan pula ia telah membersihkan Yogyakarta dari begal dan perampok bersenjata—satu demi satu, malam demi malam, wajahnya tersembunyi di balik kain hitam.

"Aku hanya melakukan yang seharusnya," gumam Darian pelan, emosi mendalam terhadap para pelaku kejahatan bersenjata masih berkobar dalam hatinya.

Malam itu, Darian kembali berpatroli. Kali ini ia menyelinap ke daerah Kotagede, mengikuti informasi tentang markas perampok yang telah berhasil ia lacak. Ia tak menyadari bahwa malam ini akan berbeda.

Mereka muncul tanpa peringatan—delapan pria kekar dengan kalung naga identik melingkar di leher mereka. Gerakan mereka bukan gerakan amatir.

"Empat Naga tidak menyukai penjaga tidak resmi di wilayah kami," desis salah satu dari mereka sebelum melancarkan pukulan pertama yang menghantam rusuk Darian, membuatnya terhuyung.

"Jadi ini si Penjaga Malam yang terkenal itu?" ejek yang lain. "Kau mengganggu bisnis kami terlalu lama."

Darian berusaha melawan, mengerahkan seluruh teknik Persaudaraan Jiwa yang dikuasainya, tapi ia kalah jumlah. Sebuah tendangan keras menghantam perutnya, membuatnya jatuh berlutut. Saat salah satu pria mengayunkan pisau ke arahnya, Darian menutup mata, bersiap menerima takdir.

Tapi rasa sakit itu tak kunjung datang. Sebagai gantinya, suara tembakan bergema di gang sempit itu. Darian membuka mata dan melihat enam orang berseragam hitam mengepung mereka. Pada dada seragam mereka tersemat emblem singa emas.

"Mundur, Empat Naga," perintah salah satu dari mereka dengan suara tenang namun mengintimidasi.

"Urusan kalian adalah dengan kami, Singadwirya," balas pria berkalung naga. "Bukan dengan bocah sok pahlawan ini."

Pertarungan pecah dengan cepat dan brutal. Darian hanya bisa menyaksikan dengan mata terbelalak saat kedua kelompok saling membunuh dengan efisiensi yang mengerikan. Dalam beberapa menit, semua anggota kelompok Empat Naga tergeletak tak bernyawa.

Seorang pria dari kelompok Singadwirya menghampiri Darian dan mengulurkan tangan.

"Namaku Bayu," ucapnya. "Kami telah mengawasimu selama beberapa bulan, Darian Sentanu."

"Bagaimana kau tahu namaku?" tanya Darian waspada.

"Kami tahu banyak hal," Bayu tersenyum. "Singadwirya adalah organisasi khusus di bawah pemerintah yang bertugas melindungi keamanan negara dari ancaman yang tak terlihat oleh masyarakat awam."

Bayu mengeluarkan sebuah buku tua dari balik jasnya. "Empat Naga bukanlah sekadar organisasi kriminal biasa. Mereka adalah organisasi bawah tanah yang telah beroperasi secara nasional selama berabad-abad, sejak zaman Majapahit. Dan Singadwirya," ia membuka buku itu, menunjukkan halaman dengan tulisan kuno dan gambar singa, "telah menjadi musuh mereka sejak awal."

Darian menatap buku itu tak percaya, kemudian Bayu merogoh saku dan mengeluarkan sebuah medali perunggu tua bergambar singa.

"Ini ditemukan di situs perguruan silatmu, Persaudaraan Jiwa di Bantul," ucap Bayu. "Tahukah kau bahwa perguruan itu didirikan oleh anggota Singadwirya pada tahun 1830? Pamanmu adalah salah satu dari kami, Darian. Beliau yang merekomendasikanmu untuk diawasi."

Darian terkesiap. Pantas saja pamannya begitu bersikeras memindahkannya ke Bantul dan memasukkannya ke perguruan silat itu. Ia teringat bagaimana pamannya selalu absen beberapa hari setiap bulan dengan alasan yang tak pernah jelas.

"Kami menawarkanmu tempat di antara kami, sebagai Jawara Tanah Indonesia," lanjut Bayu. "Melanjutkan apa yang telah kau mulai, tapi dengan dukungan dan perlindungan yang layak."

Darian terdiam, bayangan Pak Harto dan rekan-rekannya yang tewas berkelebat dalam ingatannya. Ia memikirkan latihan keras di perguruan silat, ajaran untuk mengendalikan emosi dan penggunaan kekuatan untuk kebaikan.

"Apa motivasi kalian yang sebenarnya?" tanya Darian, masih ragu.

Bayu menatapnya lurus. "Sama sepertimu—melindungi orang-orang dari kejahatan. Tapi kami melihat gambaran yang lebih besar." Ia menunjuk mayat-mayat berkalung naga. "Empat Naga bukan hanya merusak keamanan, tapi juga menggerogoti fondasi negara ini dari dalam. Mereka telah melakukannya selama berabad-abad."

Darian mengingat kembali kejadian tragis di toko lamanya, emosi mendalam yang ia rasakan terhadap para kriminal bersenjata, dan bagaimana ia telah menghabiskan enam bulan terakhir memberantas mereka sendirian.

"Kau tidak perlu sendirian lagi, Darian," ucap Bayu, seolah membaca pikirannya. "Bergabunglah dengan Singadwirya, dan jadilah bagian dari sejarah panjang perlindungan tanah air ini."

Malam itu, di bawah langit Yogyakarta yang berbintang, Darian Sentanu mengambil keputusan yang akan mengubah hidupnya selamanya.

"Aku bersedia," ucapnya mantap. "Demi mereka yang telah pergi, dan demi mereka yang masih harus dilindungi."

Komentar