Ahya Halimah: Sang Jawara Muda dari Tanah Rencong - Origin Short Story


Ahya Halimah: Sang Jawara dari Aceh, Pendekar Wanita Muda Penjaga Tanah Rencong

Hujan turun membasahi atap-atap rumah Lhokseumawe sore itu. Di sudut masjid kampus Politeknik Negeri, Ahya Halimah duduk sendirian, jemarinya membolak-balik halaman kitab hadits yang dipinjamnya dari perpustakaan. Langit yang kelabu seperti merefleksikan kegelisahan yang tersimpan dalam dirinya—sudah tiga hari Kikan, sahabat karibnya, tidak muncul di kampus.

Ahya menghela napas panjang. Ponselnya bergetar, menampilkan pesan dari ibunya yang menanyakan kapan ia pulang. Dengan singkat ia membalas bahwa ia akan tiba sebelum maghrib. Saat hendak memasukkan ponsel ke dalam saku jilbabnya, sebuah notifikasi pesan baru muncul. Dari nomor yang tidak dikenal.

"Ahya, ini aku, Kikan. Tolong jangan balas pesan ini. Ayahku menculikku dan ibu ke perkebunan ganja di Punteut. Kami dalam bahaya. Aku menggunakan ponsel ayah yang tertinggal. Tolong bantu kami, tapi jangan beri tahu siapapun. Ini lokasinya..."

Jantung Ahya berdetak cepat. Matanya memindai koordinat lokasi yang dikirimkan Kikan. Instingnya mengatakan untuk melaporkan hal ini ke polisi, tapi ada sesuatu yang menahannya. Pengalaman hidupnya dengan ayah kandung dan kakeknya yang dianggap pemberontak telah mengajarkannya untuk berhati-hati dengan otoritas.

"Ya Allah, lindungi Kikan dan ibunya," bisiknya sambil mengenakan kembali sepatu botnya. 

***

Pagi berikutnya, kabut tipis masih menyelimuti jalanan Lhokseumawe saat Ahya pamit kepada ibunya.

"Ibu, saya pergi dulu ya. Ada tugas observasi dengan teman-teman," ucapnya sambil mencium tangan ibunya.

Wanita paruh baya itu menatap putrinya dengan matanya yang teduh. "Hati-hati, Nak. Jangan pulang terlalu malam."

"Insya Allah, Bu," jawab Ahya, mengabaikan rasa bersalah karena berbohong. Ia menyelipkan sebilah pisau lipat dan pengikat rambut ke dalam tas selempangnya—benda-benda sederhana yang bisa menjadi senjata jika ia terlatih.

Ahya menyewa sepeda motor untuk menuju Punteut, daerah terpencil yang terkenal dengan perkebunan ilegalnya. Setelah meninggalkan jalan utama, ia memarkirkan motornya di sebuah warung dan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Hutan yang mengelilingi perkebunan menjadi tempat persembunyian yang sempurna baginya.

Dari atas bukit kecil, Ahya mengamati perkebunan itu dengan teliti. Lahan hijau membentang luas, dengan beberapa gubuk kayu tersebar di antaranya. Pria-pria bertubuh kekar berjaga di beberapa titik, sebagian membawa senjata api.

"Bismillahirrahmanirrahim," Ahya membaca basmallah sebelum mengikat jilbabnya lebih erat dan menutupi sebagian wajahnya dengan kain hitam. 

Dengan perhitungan presisi, Ahya menyelinap masuk area perkebunan, memanfaatkan teknik silat Siwah yang telah dikuasainya. Tubuhnya yang ramping dan lincah bergerak di antara tanaman ganja yang tinggi. Pelatihan silatnya selama bertahun-tahun kini diuji dalam situasi hidup dan mati.

Penjaga pertama yang ia temui tidak berkutik ketika Ahya menyerang titik saraf di lehernya, membuatnya pingsan tanpa sempat berteriak. Dengan gerakan cepat, ia menarik tubuh penjaga itu ke semak-semak dan mengambil pisau yang terselip di ikat pinggangnya.

"Maafkan aku," bisiknya pada penjaga yang tak sadarkan diri itu.

Satu demi satu penjaga ia lumpuhkan, hingga akhirnya tiba di sebuah gubuk yang dijaga lebih ketat. 

"Di mana wanita dan anak perempuan yang kalian sekap?" tanya Ahya dengan suara rendah, pisau tergenggam erat di tangannya, ditodongkan pada leher penjaga terakhir yang ia tangkap.

"Gu-gubuk utama... di seberang sana," jawab penjaga itu ketakutan. "Tapi jangan harap kau bisa—"

Pukulan cepat Ahya ke titik vital di dada penjaga itu menghentikan kalimatnya. Pria itu ambruk tanpa suara.

Di gubuk utama, Ahya menemukan seorang pria bertubuh besar yang ia kenali sebagai ayah Kikan. Tatapan kejam terpancar dari matanya saat ia mengangkat tangan untuk memukul seorang wanita yang terikat di kursi—ibu Kikan.

"Hentikan!" teriak Ahya, melompat masuk melalui jendela dan langsung menendang dada pria itu hingga terhuyung.

"Siapa kau?" geram ayah Kikan, menyeka darah dari sudut bibirnya.

Tanpa menjawab, Ahya menyerang dengan kombinasi gerakan silat yang mematikan. Tendangan dan pukulannya tepat mengenai titik-titik vital, dan dalam beberapa menit, pria besar itu tersungkur di lantai, tak berdaya.

"Ahya? Itu kau?" suara Kikan terdengar dari sudut ruangan, tempat ia diikat di sebuah tiang.

"Aku datang menjemputmu," jawab Ahya singkat sambil memotong tali yang mengikat Kikan dan ibunya. "Kita harus cepat keluar dari sini."

Namun saat mereka hendak melangkah keluar, suara derap langkah banyak orang terdengar mendekat. Pintu gubuk terbuka, menampakkan sekelompok pria berjas hitam dengan pistol teracung.

"Wah, wah, siapa tamu tidak diundang ini?" suara berat seorang pria terdengar dari belakang kelompok tersebut.

Darah Ahya seolah membeku ketika pria itu melangkah maju. Di balik cahaya remang, ia mengenali wajah yang pernah begitu dekat—ayah tirinya.

"Angkat tanganmu, gadis kecil," perintah pria itu, tanpa mengenali Ahya yang wajahnya masih tertutup kain hitam.

Tanpa pilihan, Ahya mengangkat tangannya perlahan, berusaha memikirkan jalan keluar. Rasa takut dan marah bercampur dalam dadanya.

Tiba-tiba, suara tembakan beruntun pecah dari kejauhan. Para pria berjas hitam menoleh ke belakang dengan panik. Seseorang menyerang mereka!

Memanfaatkan kekacauan, Ahya berteriak, "Kikan, ibu, menunduk!"

Dalam gerakan kilat, Ahya menyerang para pria yang lengah. Kakinya menendang senjata, tangannya memukul dengan presisi, dan dalam beberapa detik, tiga pria sudah tersungkur. Yang tersisa hanyalah ayah tirinya, yang menatapnya dengan campuran kemarahan dan keterkejutan.

"Siapa kau sebenarnya?" desis ayah tirinya, mengangkat pistol.

Ahya menerjang maju, menendang tangan pria itu hingga pistolnya terlempar. Dengan gerakan beruntun, ia melancarkan pukulan dan tendangan yang membuat ayah tirinya terhuyung mundur. Pertarungan berlangsung sengit, namun pengalaman silatnya yang intensif memberikan keunggulan bagi Ahya.

"Kau tidak pernah tahu siapa aku sebenarnya," bisik Ahya, sebelum melancarkan pukulan terakhir yang membuat ayah tirinya roboh.

Namun kemenangan itu singkat. Seorang pria berjas hitam yang luput dari perhatiannya muncul dari sudut ruangan, menodongkan pistol ke arah Kikan dan ibunya.

"Lepaskan senjatamu, atau mereka mati," ancamnya.

Ahya membeku. "Tembak saja aku. Biarkan mereka pergi."

Pria itu menggeleng. "Kau pikir aku sebodoh itu? Mereka saksi."

Ahya memejamkan mata, siap menerima apapun yang terjadi. "Aku akan pergi sendiri. Jangan sakiti mereka."

Pria itu mengalihkan todongan senjatanya ke arah Ahya, namun belum sempat ia menarik pelatuk, suara letusan memecah keheningan. Darah menyembur dari kepala pria berjas hitam itu. Ia ambruk ke lantai, tak bernyawa.

Di ambang pintu, seorang pria dalam balutan seragam hitam khusus berdiri dengan pistol terangkat. Mata tajamnya beradu dengan mata Ahya yang terbelalak karena terkejut.

"Area sudah steril, Komandan," ucap pria itu ke alat komunikasi di telinganya, tanpa melepaskan pandangannya dari Ahya.

Kikan berlari dan memeluk Ahya erat-erat, tubuhnya gemetaran. "Ya Allah, kukira kita akan mati," isaknya.

Ahya menenangkan sahabatnya, meski matanya masih tertuju pada pria misterius yang baru saja menyelamatkan mereka.

"Terima kasih... terima kasih, Nak," ibu Kikan berulang kali mengucapkan terima kasih sambil mencium pipi Ahya. "Kau menyelamatkan kami."

Ahya perlahan mendekati sosok ayah tirinya yang masih tak sadarkan diri. Dengan satu tarikan, ia membuka kain penutup wajahnya.

Mata ayah tirinya terbuka lemah, lalu melebar penuh keterkejutan. "Ahya? Kau... bagaimana mungkin?"

"Alhamdulillah ibu sudah menceraikanmu," ucap Ahya dingin. "Selama ini kau menyembunyikan wajah aslimu di balik topeng nasionalisme dan emansipasi."

Terdengar langkah kaki mendekat. Seorang pria berseragam hitam dengan pangkat di bahunya—sang komandan—masuk ke dalam gubuk, diikuti beberapa anak buahnya.

"Nona Ahya Halimah," sapanya dengan suara berwibawa. "Impresif. Sangat impresif."

Ahya menatapnya curiga. "Anda tahu nama saya?"

Komandan itu tersenyum tipis. "Kami sudah memantau Anda cukup lama. Silat Siwah yang Anda kuasai, teknik bertarung Anda... dan keberanian Anda hari ini mengonfirmasi semua dugaan kami."

Pria yang menyelamatkan nyawa Ahya melangkah maju, berdiri di samping komandannya. "Perkenalkan, saya Farhan dari Divisi A Singadwirya."

"Singadwirya? Apa itu?" tanya Ahya waspada.

"Organisasi khusus di bawah pemerintah Indonesia," jawab sang komandan. "Kami bertugas menangani kasus-kasus yang tidak bisa ditangani melalui jalur hukum konvensional. Dan kami sedang merekrut untuk proyek khusus bernama 'Jawara Tanah Indonesia'—satu perwakilan terbaik dari setiap provinsi di Indonesia."

"Dan kami ingin Anda menjadi perwakilan dari Aceh," sambung Farhan.

Ahya terdiam sejenak. Berbagai pikiran berkecamuk dalam benaknya. "Kenapa saya? Aceh punya banyak pendekar silat yang lebih senior."

"Karena Anda memiliki sesuatu yang langka—kecerdasan, keberanian, teknik, dan naluri yang tepat," jawab sang komandan. "Anda baru saja membuktikannya. Anda nekat menyusup ke perkebunan ganja yang dijaga ketat, melumpuhkan belasan penjaga, dan nyaris berhasil menyelamatkan sandera tanpa bantuan siapapun."

Ahya melirik ke arah Kikan dan ibunya yang masih shock. "Bagaimana dengan mereka?"

"Mereka akan kami lindungi," jawab Farhan. "Identitas baru, tempat tinggal baru. Mereka akan aman."

Ahya menatap ayah tirinya yang kini digiring oleh petugas lain. "Dan dia?"

"Akan menghadapi hukum," jawab sang komandan tegas. "Dia adalah bagian dari jaringan narkoba yang memiliki hubungan dengan organisasi kriminal bernama Empat Naga."

Ahya mendengar nama Empat Naga untuk pertama kalinya. Entah mengapa, nama itu membangkitkan amarah dalam dirinya yang tidak ia mengerti.

"Jadi, Nona Ahya," Farhan mengulurkan tangannya. "Apakah Anda bersedia bergabung dengan kami? Menjadi Jawara Asli Aceh dalam tim Jawara Tanah Indonesia?"

Tanpa pikir panjang, seolah didorong oleh kekuatan yang lebih besar dari dirinya, Ahya menjawab, "Ya."

***

Seminggu kemudian, Ahya berjalan dengan gelisah di koridor kampus Politeknik Negeri Lhokseumawe. Kikan sudah "pindah" ke kota lain bersama ibunya—setidaknya itulah cerita resmi yang disebar. Ahya belum memberitahu ibunya tentang undangan Singadwirya, masih mencari waktu yang tepat.

"Ahya Halimah," sebuah suara memanggil namanya.

Farhan berdiri di dekat pos satpam kampus, mengenakan pakaian sipil yang tidak menarik perhatian. Ia membawa sebuah kotak kayu berukir.

"Komandan menugaskan saya untuk memberikan ini," kata Farhan ketika Ahya menghampirinya. "Hadiah selamat datang di Jawara Tanah Indonesia."

Ahya membuka kotak itu dengan hati-hati. Di dalamnya terdapat sehelai selendang sutra berwarna hijau zamrud dengan sulaman emas di tepiannya—warna kebanggaan Aceh.

"Ini bukan selendang biasa," jelas Farhan. "Selendang ini terbuat dari material khusus yang memungkinkan pemakainya untuk berjalan dan berlari di udara. Dijamin akan melengkapi keahlian silatmu."

Ahya mengusap selendang itu perlahan, merasakan sensasi aneh yang mengalir dari jari-jarinya. "Bagaimana cara kerjanya?"

"Kau akan diberi pelatihan khusus," jawab Farhan. "Tapi pada dasarnya, selendang ini merespon gerakan tubuhmu dan manipulasi energi internal. Mirip dengan teknik silat yang kau kuasai, tapi dengan dimensi vertikal."

Ahya terdiam, memikirkan perubahan drastis dalam hidupnya hanya dalam seminggu. Dari mahasiswi biasa, kini ia akan menjadi bagian dari organisasi rahasia pemerintah.

"Ada yang ingin kau tanyakan?" tanya Farhan.

Ahya mengangguk pelan. "Apa yang akan terjadi dengan ibuku? Aku tidak bisa meninggalkannya sendirian."

"Singadwirya akan menjamin keamanan dan kesejahteraan ibumu," jawab Farhan. "Kami memahami sejarah keluargamu—ayahmu yang simpatisan GAM, kakekmu yang anggota DI/NII. Kami tidak melihatnya sebagai hambatan, justru sebagai bagian dari identitasmu yang unik."

Ahya menatap Farhan dengan sorot tajam. "Bagaimana kalian tahu semua itu?"

"Kami Singadwirya," jawab Farhan singkat, seolah itu menjelaskan segalanya.

Ahya menghela napas panjang. "Baiklah. Kapan aku mulai?"

"Segera," jawab Farhan. "Ada ancaman yang semakin nyata dari Empat Naga. Tim Jawara Tanah Indonesia sedang dikumpulkan dari seluruh pelosok negeri. Kau akan bertemu dengan jawara lain seperti Jin Terbang dari Jakarta, Gerobak Tempur dari Jawa Barat, dan banyak lagi."

Sore itu, saat matahari mulai tenggelam di ufuk barat, Ahya Halimah berdiri di atap gedung kampusnya yang sepi. Dengan hati-hati, ia mengikatkan selendang pemberian Singadwirya ke pinggangnya, membiarkan ujungnya menari ditiup angin.

"Bismillahirrahmanirrahim," bisiknya, sebelum melangkahkan kaki ke udara kosong.

Seperti keajaiban, kakinya tidak jatuh. Ia berdiri di atas angin, seolah ada pijakan tak kasat mata di bawahnya. Dengan ragu, ia melangkah maju, lalu mulai berlari perlahan. Selendang di pinggangnya berpendar lembut, merespon setiap gerakannya.

Ahya tersenyum, untuk pertama kalinya sejak kejadian di perkebunan ganja. Ia tidak lagi hanya Ahya Halimah, gadis Aceh yang menjadi bahan gunjingan karena latar belakang keluarganya. Kini, ia adalah Jawara Asli Aceh, bagian dari pasukan elit yang akan melindungi Indonesia dari ancaman yang mengintai dalam bayangan.

Di balik jilbabnya, mata Ahya berkilat penuh tekad. Ia siap menghadapi takdir barunya, apapun yang menanti di depan sana.

***

Ide cerita, nama karakter oleh Riantrie

Desain visual di-generate oleh AI, berdasarkan desain orisinal.

Disclaimer: Cerita ini hanya bersifat pengenalan karakter dan atmosfer yang dibangun. Dialog serta beberapa narasi melibatkan AI dengan sentuhan manusia, menggunakan prompt yang detail dan orisinal dari satu adegan ke adegan lain.




Komentar