Armand Heryana Sang Pendekar Pedang Cikalong - Chapter 1 / 5: Bayangan di Balik Perak


Armand Heryana: Sang Pendekar Pedang Cikalong

Chapter 1: Bayangan di Balik Perak

Hujan deras mengguyur Bandung malam itu ketika Armand Heryana berdiri di depan cermin kamar perguruan silatnya. Bekas luka di dadanya masih terasa nyeri—kenangan dari misi tragis di pulau terpencil utara Jakarta yang hampir merenggut nyawanya. Tiga bulan koma telah mengubah banyak hal. Jabatannya sebagai anggota JaTI Jawa Barat sempat diambil alih, murid-muridnya mulai meragukan kemampuannya, dan yang paling menyakitkan—rasa percaya diri yang pernah membuatnya berani menantang seluruh jaringan narkoba Lembang kini seolah hilang bersama darah yang mengucur malam itu.

Namun ada yang lebih dalam lagi yang mengganggunya. Mimpi buruk tentang kegelapan dan cahaya ungu yang menyengat. Suara-suara yang tidak bisa dijelaskan. Dan yang paling mengerikan—rahasia yang tak boleh diceritakan pada siapa pun. Rahasia yang terikat sumpah kerahasiaan Beyond Top Secret yang masih membekas di ingatannya.

Lima bulan berlalu sejak ia sadar dari koma. Lima bulan mencoba melupakan insiden yang resminya "tidak pernah terjadi." Namun tubuhnya masih merasakan efek samping yang aneh—koneksi dengan pedang pusakanya yang terasa lebih lemah, seolah ada yang terputus pada malam mengerikan itu.

"Guru, ada yang ingin bertemu," suara Farid, murid kesayangannya, memecah lamunan. Pemuda berusia 19 tahun itu berdiri di ambang pintu dengan ekspresi cemas yang tidak biasa.

"Siapa?" tanya Armand sambil merapikan kerah kemeja hitamnya.

"Orang dari Singadwirya, Guru. Katanya ada tugas penting."

Armand mengangguk pelan. Sudah seminggu ia kembali mengambil alih jabatan JaTI-nya dari Wira, anggota Singadwirya yang menggantikannya selama lima bulan terakhir. Namun belum ada satu pun misi yang diberikan—seolah organisasi itu masih ragu pada kemampuannya setelah insiden di pulau tersebut.

Di ruang tamu perguruan, seorang wanita berusia pertengahan tiga puluhan menunggu dengan tablet di tangannya. Rambut pendeknya yang rapi dan mata tajam di balik kacamata memberikan kesan profesional yang tidak main-main.

"Armand Heryana," wanita itu berdiri dan mengulurkan tangan. "Saya Ratna Sari, koordinator operasi Singadwirya wilayah Jawa Barat. Selamat atas pemulihan Anda."

Armand mengenali namanya dari briefing organisasi, meskipun baru pertama kali bertemu langsung. Dahulu yang merekrutnya adalah agen senior lain, tapi kini Ratna yang mengkoordinasi operasi wilayah Jawa Barat.

"Terima kasih, Bu Ratna," Armand menjabat tangannya. "Farid bilang ada tugas untuk saya?"

"Ya, dan ini cukup sensitif," Ratna membuka tabletnya, menampilkan beberapa foto artefak kuno. "Selama tiga bulan terakhir, puluhan benda pusaka bersejarah Jawa Barat hilang dari museum, candi, dan koleksi pribadi. Pola pencuriannya sangat terorganisir dan profesional."

Armand mengamati foto-foto itu dengan seksama. Keris kuno, prasasti batu, perhiasan emas era Pajajaran—semua benda berharga tinggi dengan nilai sejarah yang tidak ternilai.

"Siapa dalangnya?"

"Kelompok yang menyebut diri mereka 'Ular Perak'," jawab Ratna. "Mereka menjual hasil curian ke pasar gelap internasional. Keuntungannya mencapai miliaran rupiah."

"Kenapa tidak ditangani anggota Singadwirya biasa? Ini kan kasus kriminal standar."

Ratna terdiam sejenak, kemudian menunjukkan foto seorang pria paruh baya dengan jenggot tipis. "Karena pimpinannya adalah mantan kolonel TNI yang memiliki jaringan luas di birokrasi dan keamanan. Samsoel Pratama. Dia cerdik, berpengalaman, dan tahu cara menghindari aparat."

Nama itu terdengar familiar di telinga Armand, tapi ia tidak bisa mengingat di mana pernah mendengarnya.

"Tugas Anda sederhana," lanjut Ratna. "Infiltrasi, kumpulkan bukti, dan bongkar jaringan mereka dari dalam. Tapi ingat—ini bukan Empat Naga. Mereka lebih licik dan berhati-hati."

Armand menatap foto Samsoel Pratama. Ada sesuatu tentang mata pria itu yang membuatnya merasa tidak nyaman, seolah mengingatkannya pada bayangan-bayangan kelam yang sering muncul dalam mimpi buruknya.

"Saya terima misinya," katanya akhirnya. "Kapan dimulai?"

"Besok pagi. Anda akan bertemu sumber kami yang sudah menyusup ke dalam organisasi mereka," Ratna menutup tabletnya. "Tapi Armand, saya harus memperingatkan sesuatu."

"Apa?"

"Berdasarkan hasil psikologi terakhir, Anda masih menunjukkan tanda-tanda... trauma yang belum sepenuhnya pulih," Ratna menatapnya serius. "Jika di tengah misi Anda merasa tidak sanggup melanjutkan, jangan memaksakan diri. Keselamatan Anda lebih penting."

Armand mengangguk, meskipun dalam hati ia tahu tidak ada pilihan untuk mundur. Terlalu banyak waktu yang terbuang, terlalu banyak keraguan yang harus dibuktikan salah. Dan yang paling penting—ia harus membuktikan pada diri sendiri bahwa ia masih pantas menyandang gelar Jawara JaTI Jawa Barat.


Setelah Ratna pergi, Armand berdiri sendirian di ruang tamu perguruan. Pedang pusaka Sunan Gunung Jati terpasang di dinding, berkilau samar dalam cahaya lampu. Namun kilauannya tidak seterang dulu. Seolah ada yang hilang, seolah koneksi spiritual yang pernah menghubungkannya dengan para leluhur telah melemah sejak malam mengerikan di pulau itu.

Farid muncul dari dapur dengan dua gelas teh hangat. "Guru, apa misi kali ini berbahaya?"

"Semua misi Singadwirya punya risikonya," jawab Armand sambil menerima tehnya. "Tapi aku akan hati-hati."

"Guru," Farid ragu-ragu. "Boleh saya tanya sesuatu?"

"Apa?"

"Sejak Guru sadar dari koma, sepertinya ada yang berbeda. Guru sering terlihat... gelisah. Terutama kalau malam."

Armand terdiam. Memang benar, sejak pulih ia sering mengalami insomnia. Mimpi buruk tentang makhluk-makhluk aneh dan energi gelap yang menyeramkan membuatnya enggan tidur. Tapi ia tidak bisa bercerita, tidak boleh bercerita. Sumpah kerahasiaan yang ditandatanganinya melarang hal itu.

"Aku baik-baik saja, Farid," katanya akhirnya. "Hanya butuh waktu untuk pulih sepenuhnya."

"Kalau ada apa-apa, Guru bisa cerita sama saya. Saya murid Guru, sudah seperti adik sendiri."

Armand tersenyum tipis, merasakan kehangatan dalam kata-kata muridnya. "Terima kasih. Tapi percayalah, aku akan baik-baik saja."

Malam itu, setelah Farid pulang, Armand duduk sendirian di ruang latihan. Ia menatap pedang pusaka di tangannya, mencoba merasakan koneksi yang pernah begitu kuat. Dahulu, pedang ini seperti perpanjangan jiwa raganya. Kini, ia hanya merasa seperti memegang logam dingin biasa.

Apakah kemampuannya benar-benar hilang? Ataukah ini hanya efek psikologis dari trauma yang dialaminya? Armand tidak tahu. Yang ia tahu, besok ia harus membuktikan bahwa ia masih layak menjadi anggota JaTI.

Di luar jendela, hujan masih turun deras. Dan dalam gelapnya malam Bandung, bayangan-bayangan masa lalu terus menghantui, mengingatkannya pada rahasia kelam yang tak boleh diungkap dan insiden yang resminya tidak pernah terjadi.

Namun satu hal yang pasti—Armand Heryana tidak akan membiarkan keraguan menguasainya. Besok, ia akan kembali menjadi pemburu. Dan kali ini, ia akan memastikan bahwa tidak ada yang lolos dari keadilannya.

BERSAMBUNG...


Original Art by Arya Pandu Pradana
Character and Story Created by Riantrie

---

Selanjutnya: Chapter 2: "Taring dalam Senyuman"

Armand akan menyamar sebagai kolektor kaya untuk mendekati jaringan Ular Perak. Namun ia tidak tahu bahwa salah satu pengawal terkuat Samsoel—si misterius "Pengawal Cakar Perak"—telah mencurigai identitas aslinya.

Disclaimer: Cerita ini hanya bersifat pengenalan karakter dan atmosfer yang dibangun. Dialog serta beberapa narasi melibatkan AI dengan sentuhan kreator, menggunakan prompt yang detail dari karya orisinalnya dari satu adegan ke adegan lain. Visual generated menggunakan prompt AI sesuai dengan karakteristik yang telah ditetapkan kreator sesuai standar ilustrator asli.

Komentar