Kisah Randal Butar-butar: Antara Kegelapan dan Teleportasi - Origin Short Story


Antara Kegelapan dan Teleportasi: Kisah Randal Butar-butar, Jawara Muda Penjaga Sumatra Utara

Asap mengepul dari cangkir kopi di hadapan Randal Butar-butar. Pemuda berusia 20 tahun yang tumbuh di Medan, Sumatra Utara itu menatap kosong ke arah kedai kopi di seberang jalan—tempat bersejarah baginya. Di sanalah tiga tahun lalu ia mendengarkan pengakuan mabuk yang mengubah hidupnya selamanya.

"Tuhan tahu kebenaran," bisiknya pada diri sendiri, jemarinya menggenggam erat kalung salib perak pemberian ayahnya.

Terkadang Randal masih bisa mendengar suara gemetar Hadius, tangan kanan Jordan, yang setengah mabuk menggumamkan rahasia kotor bosnya.

---

"Bos Jordan itu jenius, Nal... jenius!" Hadius tertawa sambil mengacungkan botol bir. "Sayang kalau dikatain jenius tapi licik ya, hahaha."

Randal yang saat itu masih 17 tahun hanya tersenyum tipis, pura-pura meneguk minumannya. Seragam kerjanya sebagai pemerah susu masih melekat, bercampur aroma peternakan yang menyengat.

"Licik gimana, Bang?" tanya Randal, menjaga suaranya tetap kasual.

"Ya elah... masa gak tahu sih? Itu si Samuel, pengusaha sok suci itu. Dibikin mampus dia! Tapi yang paling jenius, bos bisa bikin pendeta itu..." Hadius menepuk-nepuk dadanya, berusaha menahan cegukan, "...pendeta yang suka ngasih khotbah panjang itu jadi tersangka!"

Darah Randal berdesir. "Ferdinand Butar-butar?" tanyanya hati-hati.

"Nah itu! Si Ferdinand!" Hadius tertawa lagi. "Gampang banget diatur, kasih bukti palsu dikit, suruh beberapa saksi ngomong yang sama, terus... voila! Masuk penjara deh! Sementara Samuel yang aslinya... itu kerjaan bos sama organisasi. Apa tuh namanya... Empat Na-... ah sudahlah, nggak penting!"

---

Sekarang, tiga tahun kemudian, Randal mengepalkan tangannya hingga buku-buku jarinya memutih. Ingatan itu masih membakar. Ayahnya, seorang pendeta terhormat yang selalu mengajarkan kebenaran dan logika, harus meringkuk di penjara atas kejahatan yang tak pernah dilakukannya.

"Pak Pendeta selalu bilang kegelapan tak bisa mengusir kegelapan," gumam Randal, ironi terasa pahit di lidahnya. "Tapi Tuhan juga pernah menggunakan Samson untuk membalas ketidakadilan."

Randal mengangkat cangkirnya, kemudian berhenti saat melihat bayangannya sendiri di permukaan kopi hitam. Mata yang menatap balik padanya bukanlah mata seorang pemuda polos seperti dulu. Melainkan mata seseorang yang telah menatap langsung ke dalam kegelapan—dan kegelapan itu balas menatapnya.

---

"Kalau kau takut hantu, maka kau tak akan pernah bisa mengalahkan iblis," kata Guru Silomba, pendekar Mossak yang menjadi mentornya selama tiga tahun terakhir.

Malam itu, di kuburan tua di pinggiran Medan, Randal bersimpuh diam dengan mata tertutup. Kakinya bersila di atas makam tak bertuan, sementara asap dupa mengitari tubuhnya.

"Bernafaslah melewati ketakutanmu," lanjut Silomba. "Jadikan ketakutan itu temanmu, bukan musuhmu."

Randal yang dulu akan gemetar ketakutan. Tapi Randal yang sekarang tidak bergeming bahkan ketika angin dingin yang tidak wajar meniup tengkuknya, atau ketika bisikan-bisikan tanpa sumber menggoda telinganya.

"Guru, apa yang terjadi bila kita benar-benar memeluk kegelapan?" tanya Randal suatu hari.

Silomba menatapnya dengan mata tua yang tajam. "Kegelapan adalah kekosongan, Randal. Ia bisa menjadi apapun yang kita isi. Beberapa mengisinya dengan kebencian dan menjadi monster. Yang bijak mengisinya dengan kebijaksanaan dan menjadi pelindung."

---

Dengan satu tegukan terakhir, Randal menghabiskan kopinya. Ia melirik arloji—pukul tujuh malam. Sudah waktunya bertemu dengan kontaknya dari Singadwirya.

Meninggalkan beberapa lembar uang di meja, Randal melangkah ke luar kedai. Udara Medan terasa lembab di kulitnya. Ia berjalan santai melewati kerumunan, menyusuri jalan menuju gang sempit yang jarang dilalui orang.

Di ujung gang, seorang pria berkaca mata dengan setelan rapi berdiri menunggu.

"Kau terlambat tiga menit, Teleporter," ucap pria itu.

"Kalau begitu, lain kali datanglah tiga menit lebih lambat," balas Randal dengan senyum tipis.

Pria itu—Arya, seorang agen senior Singadwirya—menyerahkan sebuah tas kulit hitam. "Target berikutnya. Kau memiliki 48 jam."

Randal mengambil tas itu tanpa membukanya. Ia sudah tahu isinya: foto, dokumen, dan detail misi berikutnya. Sejak bergabung dengan Singadwirya enam bulan lalu, ia telah menuntaskan tujuh misi. Semuanya berkaitan dengan Empat Naga—organisasi mafia yang bertanggung jawab atas kehancuran keluarganya.

"Bagaimana ayahmu?" tanya Arya.

"Rehabilitasi berjalan lancar. Terima kasih telah mempercepat prosesnya."

Arya mengangguk. "Itu bagian dari kesepakatan kita. Singadwirya selalu menepati janjinya."

---

Tiga bulan lalu, Randal masih ingat jelas bagaimana ia pertama kali menggunakan mantel teleportasi—sebuah benda yang tampak seperti jubah hitam biasa namun memiliki teknologi yang dipadukan dengan Batu Langit elemen kegelapan.

"Kau harus menembus kegelapan absolut selama tiga detik untuk sampai ke tujuan," jelas Dokter Natalia, ilmuwan Singadwirya yang menangani peralatan khusus. "Kebanyakan pengguna sebelumnya mengalami ketakutan luar biasa dan halusinasi. Beberapa bahkan tak pernah kembali."

"Kegelapan dan hantu adalah teman lamaku, Dok," jawab Randal saat itu.

Ketika pertama kali mengenakan mantel itu, Randal merasakan sensasi ditarik masuk ke dalam lubang hitam. Untuk sesaat, waktu dan ruang seakan tak bermakna. Ia melayang dalam kekosongan pekat—dan di sana, dalam kepekatannya, ia melihat mereka.

Mata-mata yang menatap. Tangan-tangan yang menggapai. Bisikan-bisikan yang merayu.

"Randal... bergabunglah dengan kami... di sini lebih baik..."

Tapi Randal telah dilatih untuk ini. Alih-alih melawan atau ketakutan, ia menerima kehadiran mereka. Membiarkan mereka melintas seperti awan di langit—ada, namun tak perlu diindahkan.

Tiga detik kemudian, ia muncul 100 meter dari posisi awalnya, tepat di titik yang ia bayangkan.

"Luar biasa," Dokter Natalia terperangah. "Kau berhasil tanpa hambatan pada percobaan pertama."

---

Kini, berdiri di atap gedung 30 lantai, Randal membuka tas pemberian Arya. Di dalamnya terdapat foto seorang pria paruh baya dengan janggut tipis—Zulkarnaen, salah satu pemimpin teratas Empat Naga untuk wilayah Sumatera.

"Jadi kau yang berikutnya," gumam Randal.

Mengenakan mantel hitamnya, Randal menutup mata dan memfokuskan pikirannya pada lokasi yang tertera dalam dokumen—sebuah vila mewah di pinggiran kota. Ketika matanya terbuka, pupilnya berubah hitam pekat.

"Aku datang."

Dalam sekejap, tubuhnya seakan melebur ke dalam bayangan. Kegelapan absolut menelannya. Tiga detik yang terasa seperti keabadian. Di dalam dimensi antara itu, sosok-sosok tanpa wajah kembali mengerumuninya, berbisik janji-janji kosong dan ancaman hampa.

"Kau tidak berbeda dengan kami, Randal... kau juga mencari pembalasan..."

"Aku berbeda," jawab Randal mantap dalam pikirannya. "Aku mencari keadilan."

Ketika muncul kembali, Randal telah berada di halaman depan vila target. Penjagaan ketat dengan puluhan pria bersenjata tampak di sekeliling properti. Alarm keamanan canggih terpasang di setiap sudut.

Teleportasi demi teleportasi, Randal menghindari sistem keamanan. Kegelapan menjadi sekutunya, membuatnya nyaris tak terdeteksi saat melintasi koridor dan ruangan demi ruangan.

Akhirnya, ia tiba di ruang kerja Zulkarnaen. Pria itu duduk membelakanginya, tampak sedang berbicara melalui telepon.

"Ya, kita harus segera memindahkan Batu Langit itu sebelum Singadwirya menemukannya," suara Zulkarnaen terdengar tegang. "Kita sudah kehilangan terlalu banyak lokasi penyimpanan."

Randal melangkah dari bayangan, sengaja membuat suara agar kehadirannya diketahui.

Zulkarnaen tersentak, berbalik dengan pistol teracung. "Siapa kau?!"

"Nama saya Randal Butar-butar," jawab Randal tenang. "Dan saya di sini untuk membahas beberapa hal dengan Anda, termasuk tentang organisasi yang mencelakakan ayah saya."

Zulkarnaen tertawa kering. "Ah, si Teleporter dari Singadwirya. Kami sudah mendengar tentangmu."

"Kalau begitu Anda tahu saya tidak datang untuk membunuh," Randal melangkah maju. "Singadwirya menginginkan informasi, bukan nyawa."

"Dan kau pikir aku akan memberikannya begitu saja?" tantang Zulkarnaen.

Tanpa peringatan, Zulkarnaen menekan tombol di mejanya. Alarm berbunyi nyaring dan pintu terbuka, menampakkan belasan penjaga bersenjata yang langsung mengarahkan senapan mereka pada Randal.

"Tembak!" perintah Zulkarnaen.

Tepat ketika peluru pertama ditembakkan, Randal menghilang dalam sekelebat bayangan hitam. Tiga detik kegelapan absolut, dan ia muncul tepat di belakang Zulkarnaen, menekan titik vital di lehernya.

"Aku bisa teleportasi setiap tiga detik, Pak," bisik Randal. "Coba hitung berapa banyak peluru yang bisa kuhindari dalam semenit."

Para penjaga ragu untuk menembak karena takut mengenai bos mereka.

"Panggil bantuan!" teriak salah satu penjaga.

Randal tersenyum tipis. "Mereka tidak akan sempat."

Dengan kecepatan luar biasa, Randal kembali menghilang dan muncul secara beruntun di sekitar ruangan—menjatuhkan penjaga satu per satu dengan pukulan tepat di titik bela diri Mossak yang ia kuasai. Dalam hitungan detik, seluruh penjaga telah roboh tanpa sempat melepaskan satu tembakan pun.

"Mustahil," desah Zulkarnaen, jatuh terduduk di kursinya.

Randal muncul di hadapannya, mata hitamnya perlahan kembali normal. "Tidak ada yang mustahil bila Tuhan berkehendak, Pak."

---

"Informasi yang kau dapatkan sangat berharga, Teleporter," Arya mengangguk puas, membaca laporan misi di atas meja markas Singadwirya di Medan. "Lokasi lima gudang penyimpanan Batu Langit di seluruh Sumatera. Ini akan mempercepat operasi kita secara signifikan."

Randal duduk diam, masih mengatur napasnya. Meskipun sudah terbiasa, menggunakan teleportasi berulang kali dalam waktu singkat tetap menguras energinya.

"Bagaimana dengan ayahku?" tanya Randal.

Arya tersenyum, menyodorkan sebuah amplop. "Surat pembebasan. Besok pagi dia sudah bisa pulang."

Tangan Randal sedikit gemetar saat menerima amplop itu. Tiga tahun perjuangan, dan akhirnya ayahnya akan bebas.

"Terima kasih," ucapnya tulus.

"Tidak, Randal. Kami yang berterima kasih," Arya menepuk bahunya. "Kau adalah aset berharga bagi Singadwirya dan Jawara Tanah Indonesia. Kemampuanmu teleportasi bahkan lebih matang dibanding perkiraan kami."

"Saya hanya melakukan apa yang benar," jawab Randal sederhana.

Arya menatapnya lekat. "Kau tahu kan, perjuangan kita melawan Empat Naga tidak akan selesai begitu saja? Mereka telah ada sejak zaman kerajaan, dan akan terus ada selama ada orang yang haus kekuasaan."

"Saya mengerti," angguk Randal. "Dan saya siap melanjutkan tugas."

"Bagus," Arya bangkit. "Karena selanjutnya, kau akan bergabung dengan tim khusus."

"Tim khusus?"

"Ya," angguk Arya. "Ada pemuda Betawi dengan kemampuan terbang yang sedang kami latih. Ada juga seorang gadis Bali dengan kekuatan api. Lalu beberapa Jawara lain dengan kemampuan unik."

Mata Randal melebar penuh ketertarikan. "Apa tujuan tim ini?"

"Melindungi Indonesia dari ancaman yang lebih besar dari sekadar mafia," jawab Arya serius. "Dan nama timnya adalah JaTI—Jawara Tanah Indonesia."

---

Keesokan paginya, Randal berdiri di depan gerbang penjara Tanjung Gusta, menunggu dengan hati berdebar. Setelah tiga tahun, ia akan bertemu ayahnya sebagai pria bebas.

Ketika sosok pendeta Ferdinand Butar-butar melangkah keluar dengan wajah lelah namun teduh, Randal tidak bisa menahan air matanya.

"Ayah," panggilnya, suaranya bergetar.

Ferdinand menatap putranya dengan mata berkaca-kaca. "Randal... anakku."

Mereka berpelukan erat, menebus tiga tahun perpisahan yang menyakitkan.

"Maafkan saya, Ayah," bisik Randal. "Saya gagal melindungi Ayah."

Ferdinand mengelus rambut putranya. "Tidak apa-anak, Tuhan selalu punya rencana. Bagaimana kau bisa..."

"Ceritanya panjang, Ayah," potong Randal, tersenyum misterius. "Tapi yang pasti, kebenaran selalu menang."

Saat mereka berjalan menuju mobil yang menunggu, Ferdinand menatap putranya dengan penuh tanya. "Kau berbeda, Nak. Matamu... Ada sesuatu yang telah kau lalui."

Randal tersenyum tipis. "Ayah selalu bilang kegelapan tak bisa mengusir kegelapan. Itu benar. Tapi ternyata, kita bisa belajar menembus kegelapan itu sendiri untuk mencapai cahaya di sisi lain."

Ferdinand mengerutkan dahi, tidak sepenuhnya mengerti, namun ia bisa melihat kedewasaan dan kebijaksanaan baru dalam diri putranya.

"Kau bekerja di mana sekarang, Nak?"

Randal menatap langit pagi yang cerah. "Saya bekerja untuk Indonesia, Ayah. Bisa dibilang... saya adalah salah satu jawara tanah air ini."

Saat mereka melangkah pergi, mantel hitam yang terlipat rapi di tas Randal seolah bergetar pelan—siap membawanya menembus kegelapan lagi kapanpun diperlukan.

**TAMAT**



Ide cerita, nama karakter oleh Riantrie
Desain visual di-generate oleh AI, berdasarkan desain orisinal.
Disclaimer: Cerita ini hanya bersifat pengenalan karakter dan atmosfer yang dibangun. Dialog serta beberapa narasi melibatkan AI dengan sentuhan manusia, menggunakan prompt yang detail dan orisinal dari satu adegan ke adegan lain.

Komentar