Redana Papare: Sang Kalawai Jawara Asli Papua yang Bikin Kalang Kabut Penjahat
Kabut pagi merayap perlahan di antara rumah-rumah panggung desa Asmat yang tersembunyi di kedalaman hutan Papua. Dalam sebuah pondok tradisional beratap daun sagu, Redana Papare menggerakkan pahatnya dengan ketelitian seorang maestro. Di bawah jemarinya yang kokoh namun lincah, sepotong kayu hitam perlahan berubah menjadi sosok burung cenderawasih yang tampak hampir bernyawa.
Di usia 19 tahun, Redana telah menjadi pengukir yang dihormati di desanya. Tubuhnya yang atletis dan terlatih menunjukkan kehidupannya yang keras sebagai pemburu, namun tangannya tetap memiliki kepekaan seorang seniman. Kulitnya yang coklat mengkilap diterpa cahaya matahari yang menembus celah-celah dinding anyaman, menyoroti fitur wajahnya yang tajam dan matanya yang menyimpan kesedihan mendalam.
"Detail pada bulu ekornya mulai terlihat sempurna," suara Farizwan memecah keheningan saat ia melangkah masuk ke dalam pondok. Ayah Redana itu menatap karya putranya dengan sorot mata bangga bercampur melankolik. "Kakekmu pasti akan bangga melihatnya."
Redana mendongak, tersenyum tipis meski matanya tetap menyimpan bayang-bayang masa lalu. "Aku masih berusaha menyamai keahlian Ayah."
"Kau sudah jauh melampauiku," Farizwan duduk di sebelah putranya, tangannya yang sudah mulai keriput menyentuh ukiran dengan penuh penghargaan.
Keheningan menyelimuti mereka—keheningan yang penuh makna dan kenangan. Redana tahu ada yang mengganggu pikiran ayahnya. "Ada apa, Ayah?"
Farizwan menghela napas panjang. "Besok peringatan kematian kakekmu." Matanya menerawang jauh. "Dan juga hari dimana hidup kita berubah selamanya."
Pikiran Redana melayang ke masa lalu yang kelam. Ke malam ketika kehilangan ibunya, Serafina, dalam kecelakaan mobil. Ke tahun-tahun penuh kebencian dari keluarga ibunya, terutama pamannya Sarce dan kakeknya Benny, yang menuduh Farizwan sengaja membunuh Serafina. Ke malam penyerangan di rumah mereka di Timika yang memaksa mereka kembali ke kampung halaman ayahnya di Asmat.
"Aku masih ingat teriakan Paman Sarce," gumam Redana sambil meletakkan pahatnya. "'Pembunuh!' katanya pada Ayah."
Farizwan mengangguk pelan. "Malam itu kau pertama kali melihatku bertarung."
"Dan pertama kali aku tahu bahwa Paman Sarce dan Kakek Benny adalah simpatisan OPM," tambah Redana.
Keduanya terdiam, tenggelam dalam ingatan masing-masing. Di Asmat inilah Redana dilatih oleh ayah dan kakeknya—seorang tetua adat yang konon memiliki kesaktian khusus. Ia ditempa menjadi seorang petarung dan pemburu ulung, dibekali dengan keterampilan silat tradisional Papua dan teknik berburu yang telah diwariskan selama berabad-abad.
Lamunan mereka terputus oleh suara tergesa-gesa di luar pondok. Seorang pemuda desa muncul di ambang pintu dengan napas terengah.
"Redana! Farizwan!" serunya panik. "Ada sekelompok orang bersenjata yang datang ke desa! Mereka mengenakan seragam OPM!"
Farizwan langsung berdiri tegak, matanya berkilat waspada. "Di mana mereka sekarang?"
"Mereka sedang menuju ke arah sungai. Beberapa pria desa sudah berkumpul untuk menghadapi mereka."
"Sarce," desis Farizwan. "Ini pasti ulahnya." Ia berpaling pada Redana. "Nak, tetaplah di sini. Ayah akan menghadapi mereka."
"Tidak, Ayah. Aku ikut," bantah Redana, namun Farizwan sudah bergegas keluar dengan beberapa pria desa lainnya.
Namun Redana yang keras kepala tidak mau tinggal diam. Ia menyambar tombak dan kapak batu warisan kakeknya yang selalu tersimpan di sudut pondok, lalu mengikuti ayahnya dari kejauhan. Saat melangkah melewati batas desa, sesosok pria tua menahannya.
"Redana, jangan!" ucap Pak Tua, salah satu tetuah desa. "Kau sedang ditunggu pedagang di perbatasan untuk urusan bisnis ukiranmu. Pergilah ke sana, ini bukan pertarunganmu."
Dengan enggan, Redana menurut. Ia pergi ke perbatasan desa untuk menemui rekan bisnisnya, meski pikirannya terus melayang pada ayahnya dan kelompok bersenjata yang misterius itu.
Pertemuan bisnis berlangsung singkat. Redana bahkan tidak benar-benar memperhatikan transaksi yang terjadi, hatinya gelisah. Ketika ia hendak kembali ke desa, suara tembakan terdengar dari arah sungai, membuat darahnya berdesir cepat.
Seorang kerabat yang berlari ketakutan menghampirinya. "Redana! Ayahmu dan yang lain dalam bahaya! Mereka bertemu dengan kelompok bersenjata di tepi sungai, dekat pohon beringin besar!"
Tanpa berpikir dua kali, Redana berlari sekencang mungkin ke arah sungai. Hutan yang rimbun tidak memperlambat langkahnya; ia sudah mengenal setiap jengkal tanah ini sejak kecil. Suara tembakan dan teriakan semakin jelas terdengar ketika ia mendekati lokasi.
Dari balik semak belukar, Redana menyaksikan pemandangan yang mengejutkan. Di tepi sungai, beberapa tubuh tergeletak—beberapa mengenakan seragam militer, yang lain adalah warga desa. Farizwan berdiri tegak menghadapi sekelompok pria bersenjata, dan di depan mereka, Redana mengenali sosok pamannya, Sarce.
"Kau masih hidup rupanya," Sarce berkata dingin, senapan teracung di tangannya.
"Aku tidak membunuh Serafina," jawab Farizwan tenang. "Itu murni kecelakaan."
"Bohong!" Sarce hampir berteriak. "Brasco melihatmu sengaja menabrakkan mobil itu! Dia melihatmu membunuh adikku karena kau tahu dia adalah keluarga OPM!"
"Farizwan bukan pembunuh," salah satu rekan Farizwan angkat bicara. "Kami mengenalnya bertahun-tahun. Ia tak pernah menunjukkan tanda-tanda kekerasan, bahkan setelah kalian menyerangnya di Timika."
"Benar," rekan lainnya menambahkan. "Jika ia orang jahat, ia sudah membalas dendam sejak dulu."
"Jangan dengarkan mereka, Sarce!" seru salah satu anak buahnya. "Ingat apa yang Brasco katakan!"
Mendengar nama Brasco disebut lagi, Farizwan terhenyak. Dengan tangan gemetar, ia merogoh sakunya dan mengeluarkan cincin kawin dan kalung pemberian Serafina.
"Lihatlah," Farizwan menyodorkan benda itu pada Sarce. "Aku masih menyimpannya hingga kini. Aku mencintai adikmu, Sarce. Maafkan aku tidak bisa menyelamatkannya."
Air mata mengalir di pipi Farizwan. Pemandangan yang jarang terlihat dari seorang pria setangguh dirinya. Melihat kesedihan yang tulus ini, Sarce mulai goyah. Senapannya perlahan turun, sorot matanya melembut.
"Mungkin... mungkin aku salah," Sarce berbisik. "Brasco bilang—"
"PENGHIANAT!"
Teriakan itu diikuti suara tembakan yang memecah udara. Sarce terhuyung, dadanya berlubang ditembus peluru dari salah satu anak buahnya sendiri. Kekacauan pecah seketika. Tujuh orang dari kelompok Sarce mulai menembaki rekan-rekan mereka yang setia pada Sarce.
"MUNDUR!" teriak Farizwan pada rekan-rekannya. "SEMBUNYI!"
Redana merasakan darahnya mendidih menyaksikan pengkhianatan tersebut. Saat ia bersiap menyerang, ia melihat ketujuh pengkhianat itu berkumpul, kalung dengan simbol naga kini terlihat jelas di leher mereka.
"Kami bukan OPM," ucap salah seorang dari mereka. "Kami Empat Naga, organisasi mafia terbesar di negeri ini."
"Kami ingin kau bergabung, Farizwan," tambah yang lain. "Brasco sengaja merusak mobilmu dulu, untuk memisahkanmu dari keluarga istrimu yang membencimu dan menguji kemampuan bertarungmu."
Farizwan terpaku, wajahnya pucat pasi mendengar pengakuan tersebut.
"Bergabunglah dengan kami," tawar pemimpin kelompok itu. "Atau seluruh desamu akan kami habisi."
Untuk membuktikan ancamannya, salah satu dari mereka menodongkan senapan ke arah seorang pemuda desa yang gemetar ketakutan. Farizwan terlihat bimbang, hampir menyerah.
Inilah saatnya bertindak. Dengan gerakan cepat dan presisi yang mengagumkan, Redana melemparkan kapak batunya. Senjata primitif itu melesat membelah udara, menghantam kepala si penodong hingga ia tersungkur tak sadarkan diri.
Para anggota Empat Naga terkejut, menembak membabi buta ke arah hutan. Tapi Redana telah bergerak, memanfaatkan kegelapan hutan dan pengetahuan medannya. Dengan kecepatan dan keakuratan seorang pemburu andal, ia menembakkan anak panah dan melemparkan tombaknya dari berbagai arah, memberi kesan seolah ada banyak penyerang.
Satu demi satu, anggota Empat Naga terjatuh, terkena senjata tradisional yang melesat dari kegelapan. Ketika situasi semakin kacau, Redana muncul dari persembunyiannya. Bagaikan bayangan, ia bergerak di antara para penyerang, melumpuhkan dua orang dengan tangan kosong menggunakan teknik silat yang telah ia kuasai.
"Redana!" teriak Farizwan, antara lega dan cemas melihat putranya.
"Mundur, Ayah!" Redana memperingatkan, terlalu sibuk bertarung.
Di tengah kekacauan, satu anggota Empat Naga yang terluka berhasil mengangkat pistolnya ke arah punggung Redana yang lengah. Sebelum pelatuk ditarik, sebuah tembakan terdengar. Anggota Empat Naga itu ambruk dengan lubang peluru di kepalanya.
Redana berbalik, mendapati seorang pria asing berpakaian hitam yang terluka parah, pistol masih tergenggam di tangannya.
"Siapa kau?" tanya Redana, masih waspada.
"Josua..." ucap pria itu dengan susah payah. "Singadwirya..."
Farizwan segera membantu menyandarkan Josua ke batang pohon terdekat. "Singadwirya? Apa itu?"
"Organisasi... rahasia... pemerintah Indonesia," jawab Josua terbata. "Melawan... Empat Naga."
Daun-daun bergerak dan ranting patah terdengar dari berbagai arah. Redana dan Farizwan bersiaga, tapi Josua mengangkat tangannya lemah.
"Jangan khawatir... rekanku..."
Belasan pria dan wanita berpakaian hitam muncul dari bayangan hutan, mengepung area dengan senjata siaga. Seorang pria tegap dengan bekas luka bakar di leher menghampiri mereka.
"Kolonel Raharjo," bisik Josua. "Pemuda ini... dia mengalahkan... lima anggota Empat Naga... seorang diri."
Raharjo memandang Redana dengan sorot mata menilai. "Siapa namamu, anak muda?"
"Redana Papare," jawab Redana, tidak terintimidasi.
"Kemampuan bertarungmu luar biasa," puji Raharjo. "Kami bisa memanfaatkannya di Singadwirya."
"Tidak!" Farizwan menyela tegas. "Putraku sudah cukup melihat kekerasan. Kami hanya ingin hidup tenang!"
"Ayah," Redana menyentuh pundak Farizwan. "Ibu dibunuh oleh mereka. Kakek meninggal karena tekanan mereka."
Josua terbatuk darah. "Brasco... dia dalang... di balik kematian ibumu. Ia merusak... mobil ayahmu... untuk menguji... kemampuan bertarungnya..."
"Brasco?" tanya Redana dengan gigi terkatup menahan amarah. "Di mana dia sekarang?"
"Petinggi... Empat Naga..." jawab Josua sebelum batuk hebat menginterupsinya.
"Kami menawarkanmu posisi di Jawara Tanah Indonesia," kata Raharjo. "Unit khusus Singadwirya yang berisi petarung-petarung pilihan dari seluruh provinsi Indonesia."
Farizwan menatap putranya dengan khawatir, tapi ia bisa melihat tekad membaja yang telah terbentuk di mata Redana. Ia tahu bahwa ia tak bisa menghentikan putranya kali ini.
"Aku akan bergabung," putus Redana. "Dengan satu syarat."
"Apa itu?" tanya Raharjo.
"Suatu hari nanti, aku ingin berhadapan dengan Brasco," jawab Redana, matanya berkilat penuh determinasi. "Orang yang telah menghancurkan keluargaku."
Raharjo mengangguk. "Kau akan mendapat kesempatanmu. Tapi pertama-tama, kau harus menjalani pelatihan di Jayapura."
Farizwan menghela napas berat. Ia tahu takdir telah membawa putranya ke jalan yang berbeda dari yang ia harapkan. Dengan berat hati, ia mendekati Redana dan memeluknya erat.
"Berhati-hatilah, Nak," bisiknya. "Dan jangan lupa siapa dirimu."
"Aku janji akan sering mengunjungimu, Ayah," balas Redana, mempererat pelukannya.
Tiga bulan kemudian, di fasilitas rahasia Singadwirya di pinggiran Jayapura, Redana berdiri tegap di hadapan Kolonel Raharjo. Tubuhnya yang sudah atletis kini semakin tertempa setelah pelatihan intensif. Di sampingnya berbaris tiga pemuda lain—para kandidat Jawara dari berbagai daerah di Papua.
"Kalian berempat telah menyelesaikan pelatihan dengan hasil memuaskan," Raharjo mengumumkan dengan bangga. "Namun, hanya satu yang akan terpilih menjadi Jawara Tanah Indonesia untuk mewakili provinsi Papua."
Seorang wanita berkulit gelap menghampiri mereka, membawa kotak kayu berukir yang tampak kuno. Raharjo membukanya dengan khidmat, menampakkan sebuah kalung dengan liontin berbentuk burung elang dan batu berwarna biru keemasan di tengahnya.
"Kalung ini berisi batu langit—material langka yang memiliki kekuatan luar biasa," jelas Raharjo. "Kekuatan batu ini akan beresonansi dengan kandidat yang paling layak menjadi Jawara Papua."
Satu per satu kandidat mencoba kalung tersebut, tapi tidak ada yang terjadi. Saat giliran Redana tiba, batu itu langsung berpendar terang begitu menyentuh kulitnya. Cahaya kebiruan menyelimuti tubuhnya, dan bulu-bulu elang berwarna keemasan mulai muncul di sekitar lengannya.
"Luar biasa," gumam Raharjo takjub. "Batu Langit elemen bulu elang memilihmu, Redana. Dengan kekuatan ini, kau dapat memanipulasi atom udara, menyelimuti tubuhmu dengan bulu elang, dan terbang secepat Elang Papua."
"Redana Papare, kau terpilih sebagai satu-satunya anggota JaTI untuk provinsi Papua," Raharjo mengumumkan resmi. "Sementara yang lain akan tetap menjadi anggota Singadwirya dan bersiap mengambil posisimu jika diperlukan suatu hari nanti."
Para kandidat lain menundukkan kepala dengan hormat, menerima keputusan tersebut. Redana menatap tangannya yang kini diselimuti bulu-bulu keemasan. Dengan sedikit konsentrasi, ia merasakan kakinya terangkat dari tanah.
"Untuk Ibu, untuk Kakek, untuk Papua, dan untuk Indonesia," ia bersumpah dalam hati.
Di langit Papua yang luas dan biru, sosok berkecepatan tinggi sering terlihat melesat mengejar para penjahat. Penduduk lokal menyebutnya "Kalawai"—Elang Pemburu dalam bahasa Asmat. Bagi Singadwirya dan dunia bawah tanah Indonesia, ia dikenal sebagai Redana Papare, Jawara Papua yang membuat kalang kabut para penjahat.
Di sebuah villa mewah tersembunyi di pinggiran Jayapura, seorang pria berusia pertengahan lima puluhan duduk menikmati segelas wiski sambil memandang ke arah pelabuhan. Tubuhnya tegap, wajahnya tampan meski berkerut, dengan bekas luka vertikal yang menghiasi pipi kirinya.
"Tuan Brasco," seorang anak buah masuk setelah mengetuk pintu. "Ada kabar dari Timika."
"Apa?" tanya Brasco tanpa mengalihkan pandangan dari jendela.
"Tim kita di Asmat gagal. Mereka semua tewas atau ditangkap."
Brasco meneguk minumannya dengan tenang. "Dan Farizwan?"
"Masih hidup. Tapi putranya—Redana Papare—telah bergabung dengan Singadwirya."
Untuk pertama kalinya, ekspresi Brasco berubah. Ia meletakkan gelasnya dan berbalik menghadap anak buahnya. "Singadwirya? Anak itu?"
"Ya, Tuan. Menurut informan kita, ia telah direkrut sebagai anggota JaTI untuk mewakili Papua. Mereka memberinya Batu Langit elemen bulu elang."
Brasco tertawa kecil, yang lama-kelamaan berubah menjadi tawa puas. "Anak Farizwan dan Serafina... sungguh kebetulan yang menarik."
Ia berjalan ke arah meja kerjanya, membuka laci teratas, dan mengeluarkan sebuah foto lama. Di dalamnya, terlihat Farizwan yang lebih muda, berdiri di samping seorang wanita cantik yang sedang hamil.
"Mereka tidak tahu," Brasco berbisik pada dirinya sendiri. "Bahwa kau dan aku, Redana Papare, terikat oleh darah yang sama."
***TAMAT***
Ide cerita, nama karakter oleh Riantrie
Desain visual di-generate oleh AI, berdasarkan desain orisinal.
Disclaimer: Cerita ini hanya bersifat pengenalan karakter dan atmosfer yang dibangun. Dialog serta beberapa narasi melibatkan AI dengan sentuhan manusia, menggunakan prompt yang detail dan orisinal dari satu adegan ke adegan lain.
Komentar
Posting Komentar