Chapter 5 - Final: Pendekar Cikalong Bangkit
Perguruan Silat Cikalong - Pagi Hari
Armand terbangun dari tidur yang gelisah ketika ponselnya berdering keras. Nama Ratna Sari tertera di layar dengan tulisan "URGENT" yang berkedip-kedip.
"Armand," suara Ratna terdengar panik. "Farid hilang. Perguruan sudah kami geledah, tidak ada tanda-tanda perlawanan. Sepertinya dia diambil saat tidur."
Darah Armand seketika membeku. Tangannya gemetar saat menggenggam ponsel. "Kapan?"
"Sekitar jam 3 dini hari. Penjaga malam kami menemukan jendela kamarnya terbuka, tapi tidak ada suara apa-apa. Sangat profesional eksekusinya."
"Raden," gumam Armand dengan suara serak. "Dia benar-benar melakukan ancamannya."
Tidak sampai lima menit kemudian, sebuah video dikirim ke ponsel Armand. Gambarnya buram tapi cukup jelas untuk menunjukkan Farid terbaring tidak sadarkan diri di lantai gudang yang gelap, dengan Raden berdiri di sampingnya sambil tersenyum sadis.
"Selamat pagi, Pendekar Lembang," suara Raden terdengar dari speaker ponsel. "Murid kesayanganmu sedang... istirahat. Tapi sayangnya, tidurnya agak dalam. Sari memberikan dia sesuatu yang istimewa."
Armand mematikan video dan langsung berlari keluar perguruan. Wira yang baru tiba melihat ekspresi putus asa di wajah sahabatnya.
"Mand, tunggu!" Wira mengejar. "Kita harus merencanakan dulu—"
"TIDAK ADA WAKTU!" teriak Armand sambil terus berlari menuju motornya. "Dia punya Farid!"
Wira mencoba mencegah, tapi Armand sudah menyalakan motor dan melaju kencang menuju alamat yang dikirim Raden.
"Sialan," gumam Wira sambil mengeluarkan ponsel. "Ratna, Armand sudah pergi duluan. Kami butuh cadangan sekarang. Dan hubungi Samsoel Pratama—dia harus tahu anaknya dalam bahaya."
Gudang Terbengkalai Pinggiran Bandung - Siang Hari
Ketika Armand tiba di lokasi yang dikirim Raden, dia menemukan gudang dalam keadaan sepi. Terlalu sepi. Insting jawaranya berteriak bahaya, tapi kecemasan terhadap Farid membuatnya tetap maju.
Di tengah gudang, Farid terbaring di atas kasur lusuh. Matanya terbuka, tapi tatapannya kosong menatap langit-langit. Tidak ada respons ketika Armand memanggilnya.
"Farid!" Armand berlutut di samping muridnya, mengguncang bahunya pelan. "Farid, bangun!"
Tidak ada respons. Mata Farid berkedip secara otomatis, dadanya naik turun bernapas, tapi tidak ada tanda-tanda kesadaran sama sekali.
"Menyentuh, bukan?" suara Raden bergema dari bayang-bayang gudang. "Racun neural buatan Sari. Dia masih hidup, masih bernapas, tapi otaknya... yah, katakanlah dia sedang berlibur panjang."
Armand berdiri perlahan, tangan kanannya meraba gagang pedang pusaka. "Apa yang kalian lakukan padanya?"
"Tidak apa-apa yang permanen," Sari keluar dari sudut gelap, botol kecil di tangannya. "Hanya saja, dia tidak akan pernah bangun lagi. Kecuali..."
"Kecuali apa?" desis Armand.
"Kecuali kau mau menukar pedang pusaka itu dengan penawarnya," Raden melangkah keluar dengan kedua pisaunya terhunus. "Tapi sayangnya, kami hanya punya satu dosis antidot. Dan harus diberikan dalam... hmm, 20 menit lagi, atau efeknya benar-benar permanen."
Armand menatap Farid yang terbaring tanpa daya, lalu menatap pedang pusaka di pinggangnya. Tanpa pedang ini, dia tidak akan bisa melawan Empat Naga. Tapi tanpa penawar racun, Farid akan selamanya seperti ini.
"Aku tahu apa yang kau pikirkan," kata Raden sambil tersenyum. "Pilihan yang sulit, bukan? Selamatkan satu anak, atau selamatkan seluruh Jawa Barat."
"Guru..." suara lemah tiba-tiba terdengar.
Armand menoleh cepat. Farid masih dalam posisi yang sama, mata tetap menatap kosong, tapi bibirnya bergerak sangat pelan.
"Farid!"
"Jangan... serahkan... pedang..." bisik Farid dengan susah payah. "Biarkan... saya... begini..."
Air mata mulai mengalir di pipi Armand. Muridnya, bahkan dalam keadaan seperti ini, masih memikirkan tanggung jawab yang lebih besar.
"Tidak," kata Armand tegas. "Aku tidak akan membiarkan kamu seperti ini."
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar dari luar gudang. Puluhan orang berseragam hitam dengan emblem naga merah mengepung bangunan.
"Ah, tamu kita datang," Raden menyeringai. "Empat Naga akhirnya memutuskan untuk mengambil alih operasi ini."
Dari pintu masuk, muncul sosok pria tinggi dengan bekas luka bakar di setengah wajahnya. Bayu Adinegoro melangkah masuk dengan angkuh, diikuti belasan anggota Empat Naga elite.
"Ah, Raden dan Sari," kata Bayu dengan senyum dingin. "Kerja yang bagus. Sesuai rencana."
Armand menatap dengan mata melebar. "Apa maksudmu?"
Raden tertawa sadis, bangkit dari posisinya. "Kau pikir kami bekerja sendiri, Pendekar Lembang? Cakar Perak selalu menjadi bagian dari Empat Naga sejak awal."
"Semua serangan psikologis selama ini," Sari mengeluarkan botol kecil sambil menyeringai, "semua serangan terhadap orang-orang di sekitarmu, semua strategi untuk membuat kamu datang ke sini—semuanya adalah rencana besar kami."
"Ular Perak, Cakar Perak, semuanya hanya nama samaran untuk operasi jangka panjang Empat Naga," lanjut Bayu. "Kami butuh waktu untuk mempelajari pola hidupmu, kelemahanmu, dan yang terpenting—cara memisahkan kamu dari pedang pusaka itu."
Armand menatap Farid yang terbaring koma, lalu menatap kembali para musuhnya. "Jadi Farid..."
"Farid adalah kunci sempurna," kata Sari sambil memutar botol di tangannya. "Racun neural yang kubuat memang dirancang khusus untuk kasus ini. Satu-satunya antidot ada di sini, tapi aku hanya akan memberikannya jika kau menyerahkan pedang pusaka."
"Dan jangan berpikir untuk mengambilnya dengan paksa," Raden mengacungkan kedua pisaunya. "Botol itu terbuat dari kaca yang sangat rapuh. Satu gerakan salah, antidot akan tumpah dan Farid akan selamanya seperti ini."
Armand menatap Bayu dengan mata berkilat amarah. "Kalian..."
"Kami ingin pedang pusaka itu untuk riset," lanjut Bayu sambil mengeluarkan sebilah pedang hitam dari mantelnya. "Tapi kalau kau tidak mau memberikannya dengan baik, kami akan ambil dari mayatmu."
Pedang hitam di tangan Bayu mengeluarkan aura gelap yang mengerikan. "Pedang Naga Hitam, teknologi terbaru Empat Naga. Mari kita lihat mana yang lebih kuat, tradisi atau inovasi."
Awakening - Bangkitnya Pendekar Cikalong
Armand menatap Farid yang masih terbaring tanpa daya, lalu menatap Bayu yang berdiri dengan sombong. Kemarahan, kesedihan, dan rasa tanggung jawab bercampur menjadi satu dalam dadanya.
"Farid," bisik Armand sambil menggenggam pedang pusakanya. "Maafkan guru yang tidak bisa melindungimu."
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar dari luar gudang. Wira muncul di pintu dengan tim Singadwirya, diikuti Samsoel Pratama yang baru dikeluarkan dari penjara dan Ratna Sari sebagai koordinator operasi.
"Armand!" teriak Wira. "Kami sudah melacak—"
Di belakang mereka, tiba-tiba Kosim muncul dengan gada besinya, Agus yang bergerak seperti bayangan, dan Hendri dengan mata psikopat, muncul menghadang tim Singadwirya.
"JANGAN BERGERAK!" teriak Sari sambil mengangkat botol antidot. "Satu langkah lagi, botol ini pecah dan Farid selamanya tidak sadarkan diri!"
"Kau lihat situasinya sekarang," kata Raden sambil tersenyum kejam. "Kamu, Wira, Samsoel, dan semua anggota Singadwirya di sini. Serahkan pedang pusaka, atau saksikan murid kesayanganmu hidup sebagai mayat berjalan selamanya."
Samsoel yang melihat anaknya terbaring koma langsung berlutut. "FARID! ANAKKU!"
"Ayah yang menyentuh hati," ejek Bayu. "Tapi sia-sia. Anak itu sudah jadi jaminan sempurna untuk operasi ini."
"Kalian..." Armand menggemeretakkan gigi, genggaman pada pedang pusaka semakin erat.
"Mana yang akan kamu pilih, Pendekar Lembang?" tanya Raden dengan nada main-main. "Selamatkan satu murid, atau biarkan seluruh Jawa Barat jatuh ke tangan Empat Naga karena kamu tidak punya senjata untuk melawan kami?"
"Guru..." suara lemah terdengar dari Farid.
Semua mata tertuju pada murid yang terbaring. Farid masih dalam posisi yang sama, mata tetap menatap kosong, tapi bibirnya bergerak sangat pelan.
"Jangan... serahkan... pedang..." bisik Farid dengan susah payah, menggunakan sisa kesadarannya yang tipis. "Jaga... Jawa Barat..."
"FARID!" Samsoel berteriak sambil mencoba mendekat, tapi ditahan oleh anggota Empat Naga.
Air mata mengalir di pipi Armand. Bahkan dalam kondisi seperti ini, muridnya masih memikirkan tanggung jawab yang lebih besar.
"Menyentuh sekali," kata Sari sambil menyeringai. "Tapi keputusan tetap di tanganmu, Armand. Pedang pusaka, atau muridmu selamanya tidak sadar."
Bayu mengacungkan Pedang Naga Hitamnya. "Dan jangan berpikir kau bisa mengambil antidot dengan kekerasan. Kami sudah memperhitungkan semua kemungkinan."
Pemandangan seorang ayah yang ingin memeluk anaknya tapi tidak bisa karena ancaman musuh, ditambah dengan permintaan Farid untuk mengutamakan Jawa Barat, membuat sesuatu dalam diri Armand pecah. Semua trauma, semua kegagalannya sebagai pelindung, dan sekarang pilihan mustahil ini—semuanya bangkit bersamaan.
"Kalian..." Armand menatap Raden, Sari, dan Bayu dengan mata yang mulai berkilat berbeda. "Kalian pikir kalian sudah memperhitungkan segalanya?"
"Tentu saja," jawab Raden sambil menyeringai. "Kau tidak punya pilihan lain."
"Salah," kata Armand sambil menghunus pedang pusakanya. "Ada pilihan ketiga."
Seketika, pedang itu bersinar dengan cahaya keemasan yang sangat terang, hampir membutakan semua orang di gudang. Mata Armand berubah dari coklat menjadi emas berkilau, dan aura supernatural menyelimuti seluruh tubuhnya. Rambutnya secara ajaib memanjang dan berubah menjadi warna pirang keemasan.
"Mustahil!" teriak Sari sambil mundur, hampir menjatuhkan botol antidot.
"Aku akan mengalahkan kalian semua," kata Armand dengan suara yang bergema, "DAN mengambil antidot itu tanpa menyakiti Farid!"
Suara seperti bisikan leluhur bergema di seluruh gudang:
"Bangkitlah, Pendekar Cikalong. Tunjukkan bahwa kebenaran selalu menemukan jalannya."
Armand melangkah maju, setiap langkahnya meninggalkan jejak berpendar di lantai. Pedang pusakanya bergetar dengan energi yang bisa dirasakan semua orang.
"Raden, Sari, Bayu," kata Armand dengan suara yang bergema, seolah ada kekuatan lain yang ikut berbicara. "Kalian mengira telah memperhitungkan segalanya. Tapi kalian lupa satu hal."
"Apa?" tanya Bayu sambil mengangkat Pedang Naga Hitamnya, meski terlihat ragu.
"Seorang Pendekar Cikalong tidak pernah memilih antara yang dia sayangi dan tanggung jawabnya," jawab Armand sambil memasang kuda-kuda silat. "Dia melindungi keduanya."
"Mustahil!" teriak Raden. "Kau tidak bisa—"
Dengan kecepatan yang tidak bisa diikuti mata, Armand meluncur ke arah dua anggota Empat Naga yang menghadang Samsoel. Dalam sekejap, kedua penjaga itu terjatuh pingsan akibat pukulan presisi ke titik vital mereka.
"Sekarang," kata Armand sambil kembali ke posisi semula. Samsoel yang kini bebas bergerak langsung menuju ke arah Farid.
Tiba-tiba, Armand menghilang dari pandangan—gerakannya terlalu cepat untuk diikuti mata normal. Detik berikutnya, dia sudah muncul di samping Sari, tapi alih-alih menyerang, dia hanya menyentuh botol antidot dengan ujung jarinya.
Energi spiritual dari pedang pusaka mengalir melalui sentuhan itu, dan botol antidot melayang dari tangan Sari tanpa pecah, bergerak perlahan ke arah Farid.
"Apa yang—" Sari mencoba menangkap kembali botolnya, tapi Armand sudah kembali ke posisi semula.
"Kekuatan spiritual bukan hanya untuk merusak," kata Armand sambil mengarahkan pedang ke arah ketiganya. "Tapi juga untuk melindungi dan menyelamatkan."
Botol antidot mendarat dengan lembut di samping Farid, dan Samsoel langsung menuangkan isinya ke mulut anaknya.
"SERANG DIA!" teriak Bayu kesal.
Yang terjadi selanjutnya adalah pertarungan paling dahsyat yang pernah disaksikan. Armand berhadapan dengan tiga musuh sekaligus—Raden dengan dua pisau melengkungnya, Sari dengan racun dan belati tersembunyinya, dan Bayu dengan Pedang Naga Hitam berteknologi tinggi.
Pertarungan Dahsyat - Satu Lawan Tiga
Yang terjadi selanjutnya adalah kemampuan sejati dari Pendekar Cikalong yang baru bangkit. Armand berhadapan dengan tiga dalang kriminal sekaligus, masing-masing dengan keahlian yang telah teruji dalam pertarungan sebelumnya.
Sementara itu, pertarungan besar meledak di seluruh gudang. Wira dengan kujangnya menghadapi Kosim yang ganas dengan gada besi, setiap benturan menciptakan percikan api.
Agus bersama beberapa anggota Empat Naga elit mencoba menyerang tim Singadwirya dari berbagai titik buta. Mereka bergerak dengan koordinasi yang terlatih, memanfaatkan keahlian Agus dalam serangan mendadak. Namun Ratna yang berpengalaman sudah mengantisipasi taktik ini dengan koordinasi tim yang solid.
"Formasi bertahan! Jangan biarkan mereka memecah barisan!" perintah Ratna sambil mengarahkan anak buahnya.
Hendri, si psikopat termuda, mendekat ke arah Farid dan Samsoel demi memuaskan hasrat kejiwaannya. Dari sisi lain, dua anggota Empat Naga memanfaatkan situasi dengan ikut menghampiri Samsoel sambil mengacungkan senjata api seolah hendak mengeksekusi sambil memangku anaknya.
Melihat situasi itu, Armand melayang dengan kecepatan supernatural ke arah kedua anggota Empat Naga yang menghampiri Samsoel. Dengan gerakan kilat, tangannya menghantam titik vital di leher keduanya. Kedua anggota itu langsung ambruk tanpa sempat bereaksi.
"Lindungi anakmu," kata Armand sambil kembali menghadapi tiga pemimpin musuh.
Samsoel segera mengambil pistol dari salah satu anggota Empat Naga yang baru dilumpuhkan Armand.
"Kalian sudah menyakiti anakku!" teriak Samsoel sambil mengacungkan pistol dengan sikap militer yang sempurna, menghadapi Hendri dan beberapa anggota Empat Naga yang mencoba menyerang. "Sekarang hadapi ayahnya!"
DOR! DOR! DOR!
Presisi tembakan militer membuat Hendri sempat mundur sambil menjerit, peluru-peluru mengenai titik vital sejumlah anggota Empat Naga yang mengincarnya. "Kalian bukan tandinganku," ujar Samsoel dingin sambil bersiap menghadapi serangan Hendri.
Di pusat kekacauan, Armand melawan tiga pemimpin dengan kekuatan kebangkitan penuh. Raden menyerang dengan gaya ular yang licik, kedua pisau melengkungnya bergerak dalam pola yang tidak terduga. Sari melancarkan serangan racun dari berbagai arah—jarum, serbuk, dan gas—sementara bergerak dengan kelincahan yang berbahaya. Dan Bayu, dengan Pedang Naga Hitam yang mengeluarkan aura teknologi gelap, mencoba memotong jalur spiritual Armand.
Tapi Armand, dengan mata emas dan energi leluhur yang mengalir dalam tubuhnya, bergerak seperti pendekar yang sempurna. Setiap serangan Raden ditangkis dengan gerakan silat Cikalong yang presisi. Setiap racun Sari dinetralkan oleh aura spiritual yang melindungi tubuhnya. Dan setiap ayunan Pedang Naga Hitam Bayu bertemu dengan kekuatan pusaka yang lebih kuno dan lebih kuat.
"Tidak mungkin!" teriak Raden sambil melancarkan serangan kombinasi yang paling berbahaya. "Kau melawan tiga orang sekaligus!"
"Aku tidak sendirian," jawab Armand sambil melakukan gerakan Elang Terbang yang membuat pedang pusakanya melayang dalam busur cahaya. "Leluhur Cikalong bersamaku."
Dengan satu gerakan Harimau Turun Gunung yang diperkuat energi leluhur, Armand berhasil melumpuhkan Raden dan Sari secara bersamaan. Raden terjatuh tak berdaya dengan kedua pisaunya terpental jauh hingga tak sadarkan diri. Sari langsung pingsan karena terkena hembusan energi spiritual.
Bayu, melihat dua rekannya kalah, menjadi semakin ganas. Namun setiap serangannya berhasil dihindari atau ditangkis oleh Armand.
Dalam beberapa gerakan Armand dengan Pedang Pusaka miliknya, Pedang Naga Hitam retak dan tak berguna dalam genggaman Bayu. "Menyerahlah, Bayu! Atau kau kuhancurkan pedangmu dan menjadi mangsa Singadwirya di sini kalau kau terus melawan!"
"Menyerah hanya untuk orang pengecut, Armand!" sahut Bayu sambil terus mengarahkan pedangnya ke arah Armand. Dengan satu ayunan terakhir yang dipenuhi energi spiritual, Armand berhasil mematahkan Pedang Naga Hitam. "SIAL! TAK MUNGKIN! Senjata tak berguna!"
Bayu lalu membuang serpihan pedangnya. Ia masih melawan dengan sengit menggunakan tangan kosong, membuat Armand menyarungkan pedang di pinggang sambil membuktikan kemampuan sejatinya dalam bertarung tanpa senjata.
Armand selalu unggul, berhasil menghindari atau menangkis serangan-serangan Bayu. Beberapa pukulan dan tendangan keras pun mendarat ke arah tubuh Bayu hingga ia terjatuh akibat kelumpuhan di beberapa titik vital. Namun Bayu malah tertawa kencang.
"Kalian pikir ini selesai!" teriak Bayu sambil mengeluarkan alat kecil dari sakunya. "Empat Naga punya ribuan anggota! Kalau aku mati, kalian semua akan menyusul!"
Bayu menekan tombol merah di alat itu—sebuah detonator. "Gudang ini akan meledak dalam 60 detik! Dan sinyal sudah dikirim ke markas—Empat Naga yang lebih kuat akan datang dan menghabisi kalian!"
"TIDAK!" teriak Armand, meskipun sudah terlambat.
"60... 59... 58..." hitungan mundur terdengar dari speaker tersembunyi di gudang.
"SEMUA KELUAR!" teriak Ratna sambil mengoordinasi evakuasi. "BAWA FARID!"
Bayu, dengan napas terengah-engah karena luka dalam akibat serangan Armand, masih berusaha tertawa. "Kau... kau menang hari ini, Pendekar Cikalong... tapi ini baru permulaan... Empat Naga akan... membalaskan... dendam ini..."
Mata Bayu menatap tajam—dua anggota Empat Naga berada di dekatnya berusaha menyeretnya untuk pergi dari gudang, namun ia menolak keras sambil mengacungkan pisau kecil. "Kalian jangan merusak keputusanku! Kabur saja sendiri seperti pengecut!"
Bayu memilih untuk menjadi komandan yang mati dalam pertarungan, bukan yang menyelamatkan nyawanya atau menyerah. Dua Empat Naga, yang mencoba menyelamatkan Bayu, kini memilih untuk kabur.
Area pertarungan lain diungguli oleh tim Singadwirya. Kosim dibuat luka-luka dan lumpuh oleh Wira yang telah membaca gerakan sang pemegang gada besi. "Gerakanmu sudah terbaca, wahai pria besar," gumam Wira.
Agus dan sejumlah Empat Naga yang membantunya dilumpuhkan Ratna dan timnya berkat koordinasi yang baik meskipun beberapa agen Singadwirya menjadi korban. "Bawa lawan dan rekan yang terluka keluar dari sini! Tak usah pedulikan komandannya, dia bisa langsung membunuh siapapun yang membantunya!" perintah Ratna yang menyadari situasi antara Armand dan Bayu.
Samsoel yang sempat dibuat terluka oleh Hendri akhirnya berhasil membuat sang psikopat tak berdaya berkat presisi tembakan ke arah kaki dan lengan. "Kau masih terlalu kecil untuk melawanku," ujar Samsoel sambil menggendong Farid yang dihampiri Armand.
Tim berhasil keluar dari gudang dengan Armand kini membawa Farid yang masih tidak sadarkan diri, tepat sebelum ledakan besar menghancurkan seluruh bangunan.
DUAR!
Seketika ledakan besar terjadi dari dalam gudang.
Kosim, Agus, dan Hendri—yang sudah dilumpuhkan oleh Wira dan tim—ikut dibawa dalam evakuasi dan langsung diamankan.
"Raden dan Sari?" tanya Armand sambil menggendong Farid.
"Mereka sudah kami evakuasi terlebih dahulu, kondisi keduanya masih tak sadarkan diri karena dampak energi spiritualmu," jawab Wira. "Mereka akan diadili setelah ini."
"Bayu?" tanya Armand lagi.
"Dia benar-benar memilih mati dalam ledakan. Empat Naga yang tersisa kabur tanpa membawanya. Bayu membawa pisau, berbahaya kalau diselamatkan, sayang peluru kalau dieksekusi. Mereka yang tumbang telah kami bawa untuk ditahan di markas," kata Ratna sambil melihat gudang yang masih terbakar. "Tapi dia sempat mengirim sinyal ke markas Empat Naga. Mereka pasti tahu operasi ini gagal. Empat Naga lain akan datang ke Jawa Barat."
Armand menatap api yang menjilat-jilat sisa gudang. "Berarti ini belum selesai."
"Tidak," jawab Ratna. "Tapi setidaknya hari ini, Jawa Barat aman."
Konsekuensi dan Keputusan
Setelah pertarungan usai, Armand kembali ke samping Farid. Cahaya keemasan dari pedang pusaka mulai meredup, mata emasnya perlahan kembali coklat.
"Farid," bisiknya sambil memegang tangan muridnya. "Guru sudah menang. Tapi..."
Farid masih dalam kondisi yang sama. Mata terbuka tapi kosong, bernapas tapi tidak sadar. Antidot yang tadi diminumkan ternyata tak menimbulkan efek apa pun seolah sudah terlambat atau racun yang diberikan melampaui dosis antidot. Efek racun neural rupanya sudah permanen.
Samsoel duduk di sisi lain, memegang tangan anaknya sambil meluapkan kemarahan, namun akhirnya menangis dalam diam. "Licik sekali mereka! Sejak awal sudah tahu Farid akan menjadi seperti ini! Anakku... maafkan ayah..."
Tiga hari kemudian...
Di perguruan silat Cikalong yang sudah dilengkapi dengan fasilitas perawatan medis sederhana, Armand duduk memandangi Farid yang terbaring di tempat tidur khusus. Mata muridnya masih terbuka, mengikuti gerakan, tapi tidak ada tanda-tanda pengenalan atau komunikasi.
Dokter sudah menjelaskan kondisinya: kondisi vegetatif permanen. Tubuh berfungsi normal, tapi kesadaran tidak akan pernah kembali. Ternyata benar, dokter mengatakan antidot yang diminumkan tak mampu menyembuhkan karena dosis racun melebihi takaran penawarnya itu.
"Guru akan selalu di sini," bisik Armand sambil memegang tangan Farid. "Guru akan cerita tentang murid-murid baru, teknik baru, semua yang terjadi di perguruan."
Kemunculan Para Tetua
Dua hari kemudian, pintu perguruan terbuka, dan Kakek Usman masuk bersama lima tetua silat lainnya. Mereka semua mengenakan pakaian adat Sunda yang khidmat.
Kakek Usman adalah ayah dari ibu Armand, seorang tetua perguruan silat tradisional Jawa Barat yang sangat dihormati. Ia merupakan sosok yang memiliki otoritas tinggi di kalangan praktisi silat se-Jawa Barat.
"Kakek Usman?" Armand langsung menoleh dengan wajah terkejut melihat kakek dari pihak ibunya. "Apa yang Kakek lakukan di sini?"—pertanyaan spontan yang menunjukkan ketidaksiapannya menghadapi kedatangan sang kakek di saat seperti itu.
"Armand Heryana," kata Kakek Usman dengan suara bergetar bangga. "Atas nama seluruh perguruan silat tradisional Jawa Barat, kami secara resmi mengakui engkau sebagai Pendekar Cikalong—penjaga legendaris yang telah dinanti-nantikan."
"Terima kasih, Kakek," jawab Armand. Ia sempat menunduk kepada Kakek Usman dan para tetua, lalu mengalihkan pandangan kembali ke arah Farid. "Tapi aku merasa tidak pantas menyandang gelar itu."
"Justru karena kau merasa tidak pantas, kau layak menyandangnya," kata tetua lain. "Seorang pendekar sejati selalu meragukan dirinya sendiri."
"Tapi," lanjut Kakek Usman, "untuk menjadi Pendekar Cikalong seutuhnya, kau harus melepaskan jabatan sebagai Jawara JaTI. Kau akan memiliki tanggung jawab yang lebih besar—melindungi seluruh Jawa Barat dari ancaman supernatural dan kriminal yang melampaui kemampuan organisasi biasa."
Armand terdiam, merasakan beban tanggung jawab yang besar di pundaknya. Namun ia akhirnya mengangguk perlahan. "Saya mengerti. Baiklah... saya siap melepaskan jabatan itu. Jabatan dari keanggotaan JaTI."
"Tapi aku belum tahu, siapa yang akan menggantikanku?" tanya Armand.
Sebelum kakek Usman menjawab, Wira yang dari tadi hanya mengamati dari luar masuk ke ruangan. "Ratna sudah memutuskan. Han, agen Singadwirya dari Bogor akan mengambil alih posisi JaTI Jawa Barat sementara. Kakek Usman dan para tetua sudah mendiskusikan dengan kami sebelum mereka kemari."
"Han?" Armand mengerutkan dahi. "Kenapa bukan kamu?"
Wira tersenyum tipis. "Karena aku sudah memilih untuk tetap di sini, membantu kamu merawat Farid dan menjalankan perguruan. Han punya jaringan yang lebih luas dan pengalaman teknologi yang dibutuhkan untuk melawan sisa-sisa Empat Naga."
"Lagipula," tambah Wira sambil menepuk bahu Armand, "aku tidak mau jadi pengganti sahabat terbaik. Aku mau tetap jadi partnermu."
"Wira..." Armand menatap sahabatnya dengan mata berkaca-kaca mendengar keputusan Wira yang menawarkan diri menjadi pendamping dalam proses pengembangan menjadi Pendekar Cikalong sejati sambil merawat Farid.
Epilog - Masa Depan Baru
Dua minggu kemudian, Han datang ke perguruan bersama tim Gerobak Tempur—Wicky dan Sano dengan mobil robot transformasi mereka.
Sewaktu Armand berhadapan dengan Cakar Perak, mereka berhasil menggagalkan operasi pabrik robot raksasa Empat Naga di Bandung yang dipimpin seorang petinggi Jawa Barat bernama Fard.
"Situasi Empat Naga memang belum sepenuhnya bersih," lapor Han kepada Armand. "Tapi dengan hancurnya struktur regional mereka yang vital di Jawa Barat, setidaknya ancaman langsung sudah berkurang."
Armand mengangguk sambil terus memegang tangan Farid. "Terima kasih sudah mau mengambil alih posisi ini, Han."
"Ini sementara saja," jawab Han. "Kalau kamu dan Wira suatu hari ingin kembali aktif, posisi ini tetap terbuka."
Di sudut ruangan, Samsoel duduk membaca buku untuk Farid. Mantan kolonel itu sekarang tinggal di perguruan, membantu merawat anaknya sambil ikut membantu Armand mengurus perguruan.
"Ayah baca cerita baru hari ini, Farid," kata Samsoel dengan suara lembut. "Tentang seorang pendekar yang rela berkorban untuk melindungi muridnya..."
Raden dan Sari di Balik Jeruji Besi
Raden dan Sari yang sedang menjalani proses hukum, sempat diajak bekerja sama dengan Singadwirya dari balik jeruji besi. Namun, mereka hanya memberikan sedikit informasi tentang sisa-sisa jaringan Empat Naga.
Sari sempat diam-diam memberi syarat kepada Ratna yang mengunjunginya agar ia dibebaskan terlebih dahulu untuk menyusup ke dalam organisasi, agar secara leluasa bisa mengacaukan Empat Naga dari dalam. Namun Ratna yang selalu waspada, menolak permintaan Sari.
"Kalian akan melewatkan kesempatan emas ini," ucap Sari. "Lebih baik, daripada mempertaruhkan nasib Jawa Barat kepada orang yang sudah meracuni anak tak bersalah," balas Ratna.
Sari tersenyum lalu tertawa kencang mendengar tanggapan Ratna sebelum digiring kembali ke dalam selnya.
Sementara itu, Raden yang sedang berada di sel tahanan Singadwirya sedang duduk sambil menatap langit-langit beton. Lukanya sudah sembuh, tapi kebanggaannya hancur total.
Pria yang dulu percaya diri memimpin Cakar Perak, kini hanya bisa terdiam ketika interogator datang. Dia tahu permainannya sudah berakhir—Empat Naga tidak akan pernah menyelamatkannya, dan Singadwirya punya cukup bukti untuk memastikan dia tidak akan keluar dalam waktu dekat.
Ratna sempat datang ke depan selnya untuk menawarkan kerja sama agar bisa membongkar sisa jaringan Empat Naga, tapi Raden hanya tersenyum pahit. "Aku sudah tidak punya informasi berharga lagi," katanya datar. "Mereka pasti sudah mengubah semua kode dan lokasi setelah operasi ini gagal."
Yang membuatnya paling tersiksa bukan hukuman penjara, tapi kenyataan bahwa dia hanya pion yang dibuang setelah tidak berguna—sama seperti yang selalu dia lakukan pada orang lain selama ini.
Malam-malam di sel, Raden kadang memikirkan Armand yang berhasil melindungi muridnya meski dengan pengorbanan besar. Dia tidak menyesal dengan pilihannya, tapi ada rasa penasaran tentang bagaimana rasanya memiliki sesuatu yang benar-benar layak diperjuangkan. Sesuatu yang tidak akan membuangmu ketika kau tidak lagi berguna.
Armand dan Wira di Kilauan Senja
Wira yang menghampiri Armand ke perguruan setelah Han pamit, terlibat percakapan menyentuh. "Armand," Wira duduk di sebelah sahabatnya. "Kamu tidak pernah menyesal dengan keputusan ini?"
Armand menatap Farid yang terbaring tenang, lalu menatap keluar jendela di mana murid-murid lain sedang berlatih dengan semangat.
"Menjadi Pendekar Cikalong bukan tentang kekuatan atau gelar," kata Armand pelan. "Ini tentang tanggung jawab untuk melindungi. Dan tanggung jawab terbesarku sekarang adalah memastikan Farid tidak sendirian, dan murid-murid lain tidak mengalami nasib yang sama."
Dia menggenggam tangan Farid lebih erat. "Selama Farid belum sembuh, tugasku belum selesai."
Di luar, matahari sore menyinari perguruan silat Cikalong yang kini tidak hanya menjadi tempat latihan, tapi juga rumah bagi sebuah keluarga yang terbentuk dari perjuangan, pengorbanan, dan cinta kasih yang tulus.
Armand Heryana, Pendekar Cikalong yang baru, menatap masa depan dengan tekad yang kuat. Bukan lagi sebagai seorang jawara yang bertarung untuk kejayaan, tapi sebagai seorang pelindung yang bertarung untuk mereka yang tidak bisa melindungi diri sendiri.
Dan di tangannya, pedang pusaka Sunan Gunung Jati bergetar halus, seolah menyetujui jalan yang telah dipilih tuannya.
[TAMAT]
Armand Heryana telah bangkit sebagai Pendekar Cikalong sejati, bukan melalui kemenangan yang mudah, tapi melalui pengorbanan yang nyata. Dengan Farid yang tetap menjadi tanggung jawabnya seumur hidup, dan Han yang mengambil alih posisi JaTI, babak baru dimulai dalam perjuangan melawan Empat Naga yang masih menyimpan banyak ancaman tersembunyi.
ANCAMAN BARU
Empat bulan setelah kematian Bayu Adinegoro, Marcus Tan—salah seorang dalang besar Empat Naga yang selama bertahun-tahun bersembunyi di balik topeng sebagai technopreneur sukses—duduk di ruang konferensi mewah di puncak gedang pencakar langit Jakarta.
Pria berusia 45 tahun ini adalah arsitek sebenarnya di balik transformasi Empat Naga dari organisasi kriminal tradisional menjadi sindikat teknologi modern yang menguasai dark web dan cryptocurrency.
Di hadapannya, hologram tiga dimensi menampilkan peta digital Jawa Barat dengan titik-titik merah yang menandai lokasi operasi yang gagal. Sinyal terakhir dari Bayu masih bergema di pikirannya—peringatan bahwa seorang Pendekar Cikalong telah bangkit dan mengacaukan semua rencana strategis yang telah dia susun selama lima tahun terakhir.
"Laporan dari divisi teknologi, Pak Marcus," kata asistennya sambil menyerahkan tablet. "Prototipe robot raksasa yang berhasil diselamatkan dari Bandung sudah dipindahkan ke fasilitas Kalimantan. Tim pengembang exosuit juga sudah menganalisis data pertarungan Bayu dengan Armand Heryana."
Marcus membaca dengan seksama, matanya menyipit ketika melihat analisis kekuatan supernatural yang ditunjukkan pedang pusaka Sunan Gunung Jati. Sebagai mantan insinyur MIT yang pernah bekerja di Silicon Valley sebelum memutuskan menghidupkan kembali organisasi warisan keluarganya, dia tahu betul bahwa teknologi konvensional memiliki keterbatasan.
Marcus berdiri dan berjalan ke jendela besar yang menghadap ke arah barat, ke arah Jawa Barat yang kini dijaga oleh Pendekar Cikalong yang baru. "Ubah strategi," perintahnya dingin kepada dewan direksi palsu yang sebenarnya adalah komandan regional Empat Naga.
"Jika teknologi saja tidak cukup, kita akan menggabungkannya dengan kekuatan supernatural. Hubungi kontak kita di Papua—katakan bahwa kami butuh akses ke artefak kuno yang mereka sembunyikan."
Dia tersenyum tipis sambil memikirkan Armand yang mungkin sedang merawat muridnya yang koma.
"Pendekar Cikalong mungkin kuat, tapi dia punya kelemahan yang bisa kita manfaatkan. Dan kali ini, kami tidak akan mengirim komandan lapangan yang bisa dikhianati atau dikalahkan dalam pertarungan fisik."
ARMAND HERYANA AKAN KEMBALI MELAWAN EMPAT NAGA BERSAMA J.A.T.I. SEBAGAI PENDEKAR LEGENDARIS CIKALONG...
Character and Story Created by Riantrie
Original Art by Arya Pandu Pradana
2025, Pabrik Jagoan
Disclaimer: Cerita ini hanya bersifat pengenalan karakter dan atmosfer yang dibangun. Dialog serta beberapa narasi melibatkan AI dengan sentuhan kreator, menggunakan prompt yang detail dari karya orisinalnya dari satu adegan ke adegan lain. Visual generated menggunakan prompt AI sesuai dengan karakteristik yang telah ditetapkan kreator sesuai standar ilustrator asli.
.jpg)



.png)

Komentar
Posting Komentar