Armand Heryana Sang Pendekar Pedang Cikalong - Chapter 2 / 5: Taring dalam Senyuman


Armand Heryana Sang Pendekar Pedang Cikalong 

Chapter 2: Taring dalam Senyuman

Tiga hari setelah pertemuan dengan Ratna, Armand duduk di sebuah kafe mewah di daerah Dago, mengenakan jas mahal dan jam tangan berkilau—penyamaran sebagai pengusaha kaya yang tertarik mengkoleksi benda antik. Di seberangnya duduk seorang pria berusia lima puluhan dengan jenggot rapi dan mata yang tajam namun ramah.

Samsoel Pratama terlihat sangat berbeda dari bayangan kriminal yang ada di benak Armand. Mantan kolonel ini berpakaian sopan, berbicara dengan logat yang terdidik, dan bahkan sesekali menyinggung nilai-nilai kebangsaan. Kalau bukan karena briefing dari Ratna, Armand mungkin akan mengira bertemu dengan pensiunan TNI terhormat biasa.

"Jadi Mas Armand tertarik dengan keris pusaka era Majapahit?" tanya Samsoel sambil menyeruput kopi.

"Ya, Pak. Saya dengar Bapak punya koneksi untuk mendapatkan barang-barang berkualitas," jawab Armand, berusaha terdengar seperti kolektor sungguhan.

Meskipun tampak tenang di permukaan, Armand merasakan kegelisahan yang familiar. Sejak pulih dari trauma di pulau itu, ia sering merasa tidak nyaman dalam situasi yang terlalu mirip dengan operasi penyamaran. Ada sesuatu tentang cara Samsoel menatapnya yang mengingatkan pada bayangan-bayangan kelam dalam mimpi buruknya.

"Hmm," Samsoel tersenyum tipis. "Boleh saya tahu dari mana Mas Armand dapat nomor saya?"

Armand sudah menyiapkan jawaban untuk pertanyaan ini. "Dari Pak Dedi di Jakarta. Beliau bilang kalau mau cari barang antik Jawa Barat yang autentik, harus ke Pak Samsoel."

"Ah, Pak Dedi," Samsoel mengangguk, tapi ada sedikit keragu-raguan di matanya. "Iya, beliau klien lama saya."


Dua jam kemudian, setelah percakapan yang panjang dan hati-hati, Samsoel akhirnya mengundang Armand untuk melihat "koleksi pribadi" di gudang miliknya di pinggiran Cimahi. Mereka berpisah dengan janji bertemu lagi malam itu jam delapan.

Armand pulang ke perguruan dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, misi berjalan sesuai rencana. Di sisi lain, ada sesuatu yang mengganggunya tentang Samsoel—sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan dengan logika.

"Guru sudah pulang?" Farid menyambut dengan senyuman ceria. "Bagaimana hari ini? Kok wajah Guru terlihat lelah?"

Armand menatap murid kesayangannya. Sejak pulih dari koma, ia menjadi lebih sensitif terhadap detail-detail kecil. "Cuma urusan bisnis kecil-kecilan. Ngomong-ngomong, ayahmu kerja di mana sekarang?"

"Ayah? Beliau sudah pensiun dari TNI. Sekarang bisnis kecil-kecilan juga," Farid menjawab dengan nada biasa. "Kenapa Guru tanya?"

"Tidak apa-apa. Cuma penasaran. Namanya siapa?"

"Samsoel Pratama," jawab Farid.

Dunia seolah berputar di sekitar Armand. Murid yang selama dua tahun ia latih dengan sabar, murid yang paling ia percayai, ternyata adalah anak dari target operasinya.

"Farid," suara Armand bergetar sedikit. "Kau pulang dulu hari ini. Guru ada urusan penting."

"Tapi Guru, masih siang—"

"Pulang," Armand memotong dengan nada yang tidak bisa dibantah.

Setelah Farid pergi dengan wajah bingung, Armand duduk bersandar di dinding, memegang kepalanya yang berdenyut. Apakah ini kebetulan? Ataukah ada konspirasi yang lebih besar? Paranoia yang berkembang sejak insiden di pulau itu membuatnya sulit berpikir jernih.


Malam itu, Armand tiba di gudang yang dimaksud Samsoel—sebuah bangunan tua di pinggiran Cimahi yang tampak gelap dan sepi. Ia sengaja datang setengah jam lebih awal untuk mengamati situasi, sesuatu yang tidak ia lakukan dengan cukup hati-hati di misi terakhirnya di pulau itu.

Dari tempat persembunyiannya di balik pohon, Armand melihat ada sekitar sepuluh orang di sekitar gudang. Beberapa mengenakan kaos hitam dengan kalung motif naga kecil di bawah leher—pasti anggota Empat Naga. Yang lain terlihat seperti preman lokal.

Ia mengaktifkan alat komunikasi kecil yang tersembunyi di kerahnya—sinyal darurat ke Singadwirya kalau situasi memburuk.

"Sudah kuduga," gumam Armand. Ia memeriksa pedang pusaka yang tersembunyi di balik jasnya, meskipun koneksi spiritualnya dengan senjata itu masih terasa tidak sekuat dulu. Malam ini tidak akan berjalan sesuai rencana awal.

Tepat jam delapan, Armand berjalan menuju pintu gudang dengan langkah pura-pura santai.

Samsoel menyambutnya dengan senyuman. "Mas Armand! Tepat waktu. Mari masuk."

Di dalam gudang, puluhan artefak kuno terpajang di rak-rak kayu. Armand mengenali beberapa di antaranya dari foto-foto kasus pencurian yang diberikan Ratna. Semuanya hasil curian dari berbagai tempat di Jawa Barat.

"Koleksi yang menakjubkan, Pak," puji Armand sambil mengamati sekeliling. "Tapi sebelum kita lanjut, saya ingin memperkenalkan Anda dengan rekan bisnis saya."

Dari bayang-bayang pojok gudang, muncul seorang pria bertubuh ramping dengan senyuman yang terlalu manis. Kulitnya pucat, rambutnya disisir rapi ke belakang, dan cara berjalannya mengingatkan Armand pada ular yang sedang mengendap-endap.

"Perkenalkan, ini Raden," kata Samsoel dengan suara yang sedikit bergetar. "Dia yang mengatur... distribusi."

"Senang bertemu, Mas Armand," Raden mengulurkan tangan dengan senyuman yang membuat bulu kuduk Armand meremang. "Atau haruskah saya panggil... Jawara Lembang yang terkenal brutal?"

Armand tidak menjabat tangan yang diulurkan. "Sepertinya ada salah paham."

"Oh, tidak ada salah paham," Raden tertawa kecil. "File Anda sudah ada di database kami sejak insiden jaringan narkoba itu. Armand Heryana, pembantai Lembang yang bergabung dengan Singadwirya. Muridnya ada yang bernama Farid—kebetulan sekali, anak Pak Samsoel."

Samsoel mundur dengan wajah pucat. "Raden, kau bilang hanya akan menanyakan beberapa hal saja!"

"Rencana berubah, Samsoel," Raden membuka jaket, menampakkan dua pisau melengkung di pinggangnya. "Saya Raden Arimbi, tapi teman-teman biasa memanggil saya 'Cakar Perak'. Dan kebetulan, saya sudah lama ingin bertemu dengan mata-mata Singadwirya yang satu ini."


"Pak Samsoel," Armand menatap pria tua itu. "Anda tahu siapa saya sejak awal?"

"Maaf, Mas Armand," Samsoel terlihat tersiksa. "Mereka mengancam akan menyakiti Farid kalau saya tidak kooperatif. Saya tidak punya pilihan."

"Sangat menyentuh," Raden menarik kedua pisaunya. "Tapi cukup dramanya. Sekarang saatnya main yang sesungguhnya."

Armand menarik pedang pusakanya dalam satu gerakan cepat. Bilah baja mengkilap memantulkan cahaya lampu gudang, meskipun kilauannya tidak seterang yang ia ingat dari masa lalu.

"Kalau begitu," Armand mengambil posisi silat Cikalong, "mari kita selesaikan ini."


Pertarungan pecah dengan dahsyat.

Raden bergerak dengan keanggunan ular, kedua pisau melengkungnya menari dalam gerakan yang mematikan. Setiap serangannya terarah dan presisi, tidak ada gerakan yang terbuang sia-sia.

"Kau tahu yang menarik?" Raden menyeringai sambil melancarkan serangan bertubi-tubi. "Arsip Anda di basis data kami cukup mengesankan. Tapi sepertinya ada yang berubah, ya? Ada yang... hilang?"

Armand menangkis dengan pedang pusakanya, setiap benturan logam menghasilkan percikan api. Memang benar, ia merasakan ada sesuatu yang berbeda. Refleksnya masih tajam, tekniknya masih sempurna, tapi koneksi spiritual dengan pedang pusaka terasa lemah.

"Apa yang kalian lakukan pada Pak Samsoel?" tanya Armand sambil mengelak serangan horizontal.

"Oh, dia? Cuma pengaruh kecil untuk mencari tahu tentang operasi Singadwirya," Raden berputar menghindari ayunan pedang Armand. "Sayang sekali dia terlalu lemah hati untuk permainan yang lebih seru."

Di sudut gudang, Samsoel terduduk dengan kepala tertunduk. "Armand, mereka sudah mengawasi Farid berminggu-minggu. Mereka tahu jadwal sekolahnya, rute pulangnya, teman-temannya. Aku tidak bisa..."

"Diam, Samsoel!" bentak Raden. "Kau sudah cukup berguna."

Pertarungan berlangsung sengit. Raden memang terlatih, tapi pengalaman bertahun-tahun Armand dalam silat Cikalong membuatnya bisa mengimbangi. Namun ada sesuatu yang mengganggu—seolah ada bagian dari kekuatannya yang masih terpendam, tidak bisa diakses.

Tiba-tiba, pintu gudang terbuka dengan keras.

"AYAH!"

Farid berlari masuk dengan mata berkaca-kaca, membuat pertarungan terhenti sejenak.

"Farid?" Samsoel terkejut melihat anaknya. "Kau tidak seharusnya di sini!"

"Ayah, aku tahu semuanya!" Farid berdiri di antara kedua pihak yang bertempur. "Guru Armand orang baik! Kenapa ayah berbohong kepadaku?"

"Anak naif," Raden mengangkat pisaunya ke arah Farid. "Kau hanya akan menjadi masalah."

"JANGAN!" Samsoel dan Armand berteriak bersamaan.

Dalam momen itu, sesuatu berubah dalam diri Armand. Ancaman terhadap murid yang tidak bersalah memicu sesuatu yang dalam—sebuah koneksi spiritual yang sempat terputus kini berkilat sekilas. Pedang pusakanya tiba-tiba berpendar cahaya hangat.

Armand bergerak dengan kecepatan yang mengejutkan, melompat di depan Farid dan menangkis serangan Raden. Kali ini, pukulan baliknya jauh lebih kuat, membuat Raden mundur beberapa langkah.

"Menarik," Raden menyeka darah di sudut bibirnya. "Sepertinya masih ada api yang tersisa."

"Cukup, Raden!" Samsoel berdiri dengan gemetar. "Aku sudah melakukan yang kau minta. Biarkan anakku pergi!"

"Hmm," Raden menatap ketiganya dengan senyuman licik. "Sebenarnya, ini sudah cukup menghibur untuk malam ini."

Ia melemparkan sesuatu ke lantai—granat asap yang langsung mengeluarkan kabut tebal.

"Sampai jumpa lagi, Armand Heryana," suara Raden terdengar dari dalam kabut. "Ini baru permulaan. Permainan yang sesungguhnya akan jauh lebih seru."

Ketika asap mulai hilang, Raden dan para anak buahnya sudah menghilang.


Lima belas menit kemudian, agen-agen Singadwirya tiba untuk mengamankan gudang. Ratna sendiri yang datang memimpin operasi.

"Armand, kau tidak apa-apa?" tanya Ratna sambil memeriksa luka-luka kecil di lengan Armand.

"Baik-baik saja," Armand menatap Samsoel yang duduk memeluk anaknya. "Bagaimana dengannya?"

"Dia sudah memberikan keterangan lengkap. Menyerahkan semua informasi tentang jaringan Ular Perak dan lokasi penyimpanan barang curian lainnya," Ratna mengangguk ke arah ayah-anak itu. "Dia korban pemerasan. Hukumannya akan dipertimbangkan."


"Guru," Farid menghampiri dengan mata merah. "Maafkan saya. Maafkan ayah saya."

"Kau tidak perlu minta maaf atas kesalahan orang lain," Armand tersenyum. "Yang penting, kau sudah memilih jalan yang benar."

"Apakah saya masih bisa kembali berlatih di perguruan Guru?"

Armand menatap mata muridnya—mata yang masih penuh harapan meski telah melalui malam yang traumatis. Dalam hati, ia juga merasakan sesuatu yang berbeda. Sekilas koneksi dengan pedang pusaka tadi memberikannya secercah harapan bahwa mungkin, perlahan-lahan, ia bisa pulih sepenuhnya.

"Tentu saja," jawab Armand sambil menepuk kepala Farid. "Perguruan selalu terbuka untuk murid yang tulus."

"Terima kasih, Guru," Farid tersenyum, untuk pertama kalinya sejak drama keluarganya dimulai.


Satu jam kemudian, di sebuah persembunyian gelap di pinggiran kota, Raden berdiri di depan sebuah papan besar yang dipenuhi foto-foto. Di bagian tengah terpasang foto Armand, dengan beberapa foto orang-orang di sekitarnya: Farid, murid-murid lain, orangtua Armand, dan bahkan pemilik warung tempat Armand sering makan.

"Fase pertama selesai," bisiknya pada bayangan-bayangan di sudut ruangan. "Sekarang kita tahu kemampuan sebenarnya si Jawara itu. Dan yang lebih menarik lagi..."

Ia menunjuk foto Farid dengan ujung pisaunya.

"Kita punya pengaruh yang sempurna untuk fase selanjutnya."

Raden tersenyum dalam kegelapan, senyuman ular yang lapar dan penuh perhitungan.

"Sampai jumpa lagi, Armand Heryana. Pertarungan yang sesungguhnya baru saja dimulai."

BERSAMBUNG...


Character and Story Created by Riantrie

Original Art by Arya Pandu Pradana


Preview Chapter 3: "Balas Dendam si Cakar Perak"

Tiga minggu setelah insiden gudang Cimahi, kehidupan Armand mulai kembali normal. Farid kembali berlatih di perguruan, dan kasus Ular Perak dianggap selesai oleh Singadwirya. Namun mereka tidak tahu bahwa Raden telah mengumpulkan para mantan pengawal Ular Perak untuk membentuk kelompok baru dengan satu tujuan: menghancurkan hidup Armand Heryana berkeping-keping. Dan kali ini, perang psikologis dimulai dengan target yang tidak pernah Armand duga...


Disclaimer: Cerita ini hanya bersifat pengenalan karakter dan atmosfer yang dibangun. Dialog serta beberapa narasi melibatkan AI dengan sentuhan kreator, menggunakan prompt yang detail dari karya orisinalnya dari satu adegan ke adegan lain. Visual generated menggunakan prompt AI sesuai dengan karakteristik yang telah ditetapkan kreator sesuai standar ilustrator asli.

Komentar