OPERASI TENGGELAM: Kegagalan Tim JaTI - Bagian II / II: Bala Bantuan Datang Terlambat (Flashback Story)

OPERASI TENGGELAM: Kegagalan Tim JaTI - Bagian II

Ketika Harapan Pupus

Laboratorium Bawah Tanah - Pulau Tikus Mati

Gas neural terus mengalir, melumpuhkan kemampuan supernatural mereka satu per satu. Namun tim JaTI muda yang sempat roboh, kini bangkit kembali. Dengan tekad kuat, mereka berlima mulai bertempur hanya dengan kekuatan fisik melawan drone-drone yang semakin ganas.

Ahya masih terus mencoba melancarkan gerakan Silat Siwah, meskipun tanpa dukungan selendang untuk mobilitas udara gerakannya menjadi terbatas. Ia berhasil melumpuhkan beberapa drone dengan tendangan presisi, namun semakin banyak yang datang.

"Selendangku benar-benar tidak merespon," katanya sambil menghindar dari sengatan listrik drone.

Redana masih mengandalkan senjata tradisional Papua-nya. Kapak batu dan tombaknya masih efektif melawan drone karena tidak bergantung pada kekuatan supernatural. "Setidaknya senjata leluhur masih bisa diandalkan!"

Ia melempar kapak batu dengan kekuatan penuh, menghancurkan tiga drone sekaligus. Namun sayap elangnya sudah benar-benar mengkerut dan tidak bisa digunakan lagi.

Darian bergerak dalam kegelapan dengan mengandalkan kemampuan alami keluarganya, namun brass knuckle logamnya mulai terasa berat. "Kemampuan alamiku mulai terganggu juga!"

Armand mengayunkan pedang pusaka dengan gerakan silat Cikalong, namun bilah kuno itu sudah tidak berkilau sama sekali. Hanya sebilah pedang biasa tanpa kekuatan mistik. "Koneksi dengan leluhur terputus total."

Randal adalah yang paling menderita dengan gangguan teknologi drone ini. Mantel teleportasinya benar-benar kacau—ia terus muncul di tempat yang salah, kadang bahkan terjebak di dalam dinding selama beberapa detik sebelum terpental keluar dengan keras. 

Namun skill Mossak yang diasah bertahun-tahun membuatnya tetap bisa bertarung. Gerakan tangan dan kakinya masih presisi, teknik bela diri tradisional Batak tidak bergantung pada teknologi supernatural. Ia masih bisa melawan drone dengan pukulan dan tendangan yang terlatih.

"Aku tidak bisa mengendalikan kemana aku akan muncul!" teriaknya sambil menabrak kolom beton karena teleportasi yang salah sasaran. 

"Tapi untung Mossak masih bisa berguna!" Ia bangkit dan langsung melancarkan serangan tangan kosong, memukul drone yang mendekat dengan teknik yang dipelajari dari tradisi Batak.

Drone-drone semakin banyak dan agresif. Tim JaTI yang tadinya lima orang dan saling berdampingan, kini mulai terpencar-pencar. Masing-masing kewalahan melawan musuh yang terus bertambah.

Dari speaker, suara Diana terdengar puas: "Gas neural buatan saya bekerja sempurna. Kalian sekarang hanya manusia biasa yang akan segera tewas."

"Tapi sebelum itu," suara Mahesa menyela, "ada sesuatu yang ingin kami tunjukkan pada kalian."

Lantai di tengah ruangan terbuka, memunculkan platform yang naik dari bawah. Di atasnya, sebuah struktur seperti makam kuno dengan ukiran-ukiran aneh yang berpendar hijau.

"Apa itu?" tanya Armand sambil mengayunkan pedang untuk menghalau drone.

"Jasad salah satu peri tertua yang kami temukan di pulau ini," jawab Diana dengan bangga. "Sudah berabad-abad terkubur, menunggu energi yang tepat untuk bangkit kembali."

"Dan energi dari kemampuan supernatural kalian adalah kunci yang sempurna," tambah Mahesa.

Dari makam kuno itu, cahaya hijau mulai menyebar ke seluruh ruangan. Gas neural yang tadinya hanya melumpuhkan kemampuan mereka kini mulai menyerap sisa-sisa energi Batu Langit dari tubuh mereka.

"Mereka... mengambil kekuatan kita," bisik Ahya dengan horor sambil merasakan energi mulai terhisap makin kuat dari tubuhnya.

Redana kini merasakan sayap elangnya bukan hanya mengkerut, tapi seperti dicabut paksa dari dalam tubuhnya. "Rasanya seperti jiwaku ditarik keluar!"

Randal berteriak kesakitan ketika mantel teleportasinya mulai menyerap energi dari tubuhnya sendiri. "Mantelku... menyakitiku!"

Darian merasakan kemampuan alami bergerak dalam kegelapan—kemampuan yang sudah dimilikinya sejak lahir—mulai memudar. "Bahkan kemampuan bawaan dari keluargaku ikut hilang!"

Armand melihat pedang pusaka Sunan Gunung Jati di tangannya mulai retak. Koneksi mistik dengan leluhur tidak hanya terputus, tapi seperti dirusak secara permanen. "Warisan leluhur... hancur."

Cahaya hijau dari makam semakin terang. Sosok yang terbungkus kain usang di dalamnya mulai bergerak. Sepasang mata merah menyala terbuka perlahan.

"Bangun, Sang Penguasa Kegelapan Kuno," bisik Diana dengan khidmat. "Saatnya membalas dendam pada dunia yang telah melupakan kekuatan sejati."

Makhluk dalam makam itu mulai bangkit. Tubuhnya tinggi dan kurus, kulit pucat seperti mayat, namun energi yang mengalir dari tubuhnya sangat mengerikan. Mata merahnya menatap kelima anggota JaTI dengan lapar.

"Energi... kalian... lezat..." suara serak keluar dari mulut makhluk itu.

Tim JaTI muda kini benar-benar tak berdaya. Kemampuan supernatural hilang, kekuatan fisik memudar, dan drone-drone terus menyerang tanpa henti.

Ahya terjatuh, gerakan Silat Siwah-nya sudah tidak presisi lagi karena kelelahan. Redana kehilangan genggaman pada kapak batunya. Randal masih mencoba bertarung dengan Mossak, tapi tenaganya sudah terkuras habis—meski skill tradisionalnya masih berfungsi, tubuhnya sudah tidak kuat lagi. Darian tidak bisa bergerak dengan baik dalam kegelapan.

Dan Armand, dengan pedang pusaka yang sudah retak parah, masih berusaha melindungi rekan-rekannya meski tubuhnya sudah hampir roboh.

"Sang Penguasa Kegelapan" mendekat dengan langkah pelan. Aura mengerikan dari tubuhnya membuat udara di sekitar terasa mencekik. Tubuhnya perlahan mulai menghitam, seolah menandakan kekuatannya sudah terkumpul sempurna untuk menerkam dan memakan mangsanya.

Drone yang tadinya bergerak menyerang, kini membentuk formasi siaga.

"Sekarang... waktu kalian berakhir," kata makhluk itu dengan suara yang membuat bulu kuduk berdiri.

Peri kuno itu mengangkat tangannya, energi gelap mulai terkumpul di telapak tangannya. "Jiwa kalian akan menjadi makanan yang sempurna untuk kekuatanku yang baru bangkit."

Energi gelap melesat menuju Ahya yang sudah tidak bisa bergerak. Namun tiba-tiba, Armand melompat dengan sisa kekuatan terakhirnya, melindungi Ahya dan membelakangi serangan.

"ARMAND, JANGAN!" teriak Ahya.

BRAKK!

Ledakan energi menghantam punggung Armand dengan kekuatan luar biasa. Tubuhnya terlempar keras dalam posisi terbalik, dadanya menabrak dinding beton hingga retak. Ia terjatuh dengan kepala mendarat terlebih dahulu. Darah segar mengalir dari mulut dan hidungnya.

"ARMAND!" Ahya berteriak histeris melihat sahabatnya tergeletak tidak bergerak.

"Berani sekali!" Darian bangkit dengan amarah yang memuncak, mengabaikan kondisi tubuhnya yang sudah lemah. Dengan sisa tenaga, ia berlari menuju peri kuno sambil mengangkat brass knuckle.

"Darian, tidak!" teriak Redana.

Terlambat. Darian sudah melompat untuk menyerang dengan tinjunya. Peri kuno itu tersenyum kejam dan menangkap tangan Darian dengan cengkeraman energi gelap yang mengerikan.

"AAAHHHHH!" Darian menjerit kesakitan ketika energi gelap meremukkan tak hanya satu, tapi juga kedua tangannya dari dalam. Tulang, otot, dan saraf hancur dalam sekejap.

Peri itu mengangkat Darian tinggi-tinggi, lalu membantingnya ke lantai beton dengan brutal. Kedua tangan pemuda Yogyakarta itu sudah tidak berbentuk, cedera internal yang parah. Darian kejang-kejang sebentar akibat cedera tangan dan bantingan keras sebelum matanya menutup—pingsan karena shock dan kehilangan darah.

"DARIAN!" Randal dan Redana berteriak bersamaan, air mata mengalir melihat dua rekan mereka yang sudah tidak bergerak.

"Dua porsi sudah siap," kata peri kuno dengan puas. "Sekarang giliran kalian bertiga."

Ahya menangis sambil merangkak mendekati Armand yang tidak sadarkan diri. "Armand... bangun... kumohon..."

Seketika, perhatian peri kuno tertuju pada Randal, menyadarai kekuatan kegelapan dari mantel milik sang JaTI muda asal Medan sangat cocok untuknya. Dengan senyum keji, ia menatap Randal. "Kekuatanmu... akan kumakan habis."

Namun tiba-tiba, ledakan dahsyat mengguncang seluruh kompleks. Langit-langit laboratorium retak dan debu berjatuhan.

Dari atas, suara-suara pertempuran terdengar semakin mendekat.

"Ada apa?!" Diana membentak kepada anak buahnya melalui komunikatornya.

"Serangan besar-besaran dari laut! Tim tidak dikenal dengan kekuatan Batu Langit tingkat tinggi! Mereka sudah membobol semua pertahanan!"

Ledakan lain, kali ini lebih dekat. Dinding laboratorium mulai runtuh.

"Siapa mereka?!" teriak Mahesa.

Belum sempat ada jawaban, pintu laboratorium meledak terbuka dengan dahsyat.



Bala Bantuan Datang Terlambat

Laboratorium yang Runtuh - Pulau Tikus Mati

BRAKK!

Pintu laboratorium bawah tanah meledak terbuka dengan kekuatan luar biasa. Asap dan debu berterbangan, namun dari sana muncul sosok-sosok yang membuat tiga anggota JaTI yang masih sadar merasakan harapan pertama sejak terjebak.

Azzam Mappangara muncul pertama, ikat kepala merah berkibar. Projektil batu vulkanik berpijar di tangannya, mata menyapu ruangan dan langsung membeku melihat kondisi mengerikan di hadapannya.

"Ya Allah... Armand! Darian!" teriaknya melihat dua rekannya tergeletak tidak bergerak dalam genangan darah.

Dzaky Pallawarukka menyusul dengan laptop taktis terbuka, jari-jarinya mengetik dengan kecepatan luar biasa sambil akar bambu merambat dari tangannya, menetralisir gas neural yang masih mengalir. "Gas beracun di udara! Dan ada dua korban kritis!"

Esa Tumundo langsung berlutut di samping Armand yang tidak sadarkan diri, kristal es di tangannya berubah menjadi uap dingin untuk menstabilkan kondisinya. "Gegar otak berat, cedera internal parah!"

Kemudian ia berpindah ke Darian dan wajahnya pucat melihat kondisi kedua tangan yang hancur total. "Kedua tangannya... ini kerusakan internal yang sangat parah dari cengkeraman dan bantingan keras!"

Faris Rawallangi dan Rafi Makatenga langsung menyerang drone-drone yang masih mengepung sambil berlari menuju tiga anggota JaTI yang masih sadar. Kemampuan nikel Faris menghancurkan sistem elektronik tiap drone yang hendak menyerang, sementara getaran seismik Rafi membuat lantai bergetar, hingga gelombangnya membuat drone-drone rusak dan jatuh.

"Ahya! Randal! Redana! Kalian baik-baik saja?" teriak Faris sambil membantu Ahya yang masih menangis di samping Armand.

"Mereka... mereka berkorban melindungi kami," bisik Ahya dengan suara serak, air mata tidak berhenti mengalir. "Armand melompat melindungiku dari serangan peri, Darian menyerang balik untuk membalas dendam."

Di belakang tim Sulawesi, muncul Komandan Hassan bersama dua agen Singadwirya yang terluka—Letnan Jaka dan Sersan Budi yang berhasil selamat dari serangan awal meski dalam kondisi parah.

"Kondisi korban bagaimana?" tanya Komandan Hassan sambil mengamati keadaan sekitar dengan horor.

"Sangat kritis," jawab Esa sambil memeriksa satu per satu. "Armand tidak sadarkan diri, trauma berat akibat benturan. Darian koma, kedua tangannya hancur dari dalam. Ahya, Randal, dan Redana masih sadar tapi sangat lemah akibat gas neural."

Peri kuno yang sudah menyerap energi kelima anggota JaTI tadi menatap tim penyelamat dengan mata merah menyala, energi gelap mengalir dari tubuhnya yang tinggi dan mengerikan. Tubuhnya tampak lebih bertenaga setelah penyerapan energi dari batu langit milik beberapa anggota. "Akhirnya ada mangsa tambahan! Energi kalian akan melengkapi kekuatanku!"

"Jadi itu yang mereka bangkitkan," gumam Azzam sambil menyiapkan projektil batu vulkanik, namun merasakan aura kekuatan yang luar biasa dari makhluk itu. "Makhluk dari masa lalu yang sudah diperkuat."

Peri kuno itu menghindari serangan Azzam dengan mudah, lalu menyerang balik dengan energi gelap yang dahsyat. Kekuatannya jauh melampaui ekspektasi—bahkan tim Sulawesi yang berpengalaman langsung menyadari mereka berhadapan dengan musuh yang berbeda level.

"Ini bukan musuh biasa!" teriak Faris sambil membentuk perisai nikel untuk melindungi rekan-rekannya dari serangan energi.

Diana dan Mahesa yang tadinya panik melihat kedatangan tim penyelamat kini tersenyum kembali dengan puas. "Kalian datang terlambat," kata Diana sambil menunjuk Armand dan Darian yang tidak sadarkan diri. "Dua korban sudah jatuh, dan tujuan utama kami sudah tercapai."

"Peri Penguasa Kegelapan sudah bangkit dengan kekuatan penuh," tambah Mahesa dengan bangga. "Bahkan tim elite kalian tidak akan bisa mengalahkannya."

Azzam melirik ke arah lima rekannya dengan hati yang mencelos. Armand dan Darian benar-benar tidak sadarkan diri dengan cedera yang sangat parah—darah masih mengalir dari kepala Armand dan kedua tangan Darian terlihat mengenaskan. Ahya menangis sambil memegang tangan Armand yang dingin. Randal dan Redana hampir tidak bisa bergerak, tapi mata mereka penuh penyesalan dan kesedihan.

"Dzaky! Ada cara untuk menghentikan makhluk itu?" teriak Azzam sambil menghindar dari serangan energi yang menghancurkan tembok di belakangnya.

Dzaky mengetik dengan kecepatan luar biasa di laptopnya sambil akar bambunya mencoba menahan serangan peri. "Saya sudah mengakses sistem mereka! Ada protokol penghancuran otomatis yang akan meledakkan seluruh pulau dalam 10 menit!"

"Apa?!" Mahesa dan Diana berteriak bersamaan, wajah mereka berubah pucat.

"Kalian tidak mungkin bisa mengakses sistem kami!" seru Diana dengan panik.

Dzaky tersenyum tipis meski dalam kondisi terdesak. "Kalian tak tahu—bambuku bisa merambat ke mana saja, termasuk kabel-kabel listrik kalian."

Peri kuno itu mendengar hitungan mundur ledakan namun tidak terlihat panik sama sekali. Mata merahnya menyala dengan tenang dan dingin. "Ledakan kecil tidak akan menghentikan kekuatan abadi sepertiku. Mangsaku tidak boleh kabur!"

Makhluk itu menyerang dengan energi gelap yang semakin dahsyat, mengejar tim Sulawesi yang membawa lima korban menuju pintu keluar.

Sementara itu, Diana dan Mahesa yang melihat situasi mulai tidak menguntungkan, bergerak menuju pintu keluar rahasia.

"Kita harus pergi sekarang!" kata Mahesa.

"Tunggu!" Diana menyentuh sebuah kontrol panel terakhir kali. Ia berkomunikasi dengan para pengawal seisi pulau. "Protokol penghancuran fasilitas sudah diaktifkan—10 menit!"

Dzaky yang masih terhubung dengan sistem komputer kompleks langsung menangkap sinyal berbahaya. "Countdown penghancuran fasilitas dimulai! Kita harus keluar sekarang juga!"

Komandan Hassan, Letnan Jaka, dan Sersan Budi mencoba menghadang Diana dan Mahesa yang hendak kabur melalui terowongan rahasia.

"Kalian tidak akan lolos kali ini!" teriak Komandan Hassan meski dalam kondisi terluka.

Namun Diana dan Mahesa sudah menyiapkan jebakan. Mereka melemparkan granat asap, disusul tembakan para pengawalnya yang langsung bersiaga dari sisi lain, memaksa ketiga agen Singadwirya mundur sambil menghindari rentetan peluru.

"Kita lihat saja!" Diana menghilang bersama Mahesa dan para pengawal yang telah menunggu melalui terowongan rahasia. "Peri kami akan menuntaskan pekerjaan!"

"Sial! Mereka kabur!" teriak Letnan Jaka sambil batuk-batuk karena asap.

"Tidak ada waktu!" Azzam berteriak sambil menahan peri tua dengan kekuatan proyektil vulkanik sebisanya setelah mulai terbiasa, meskipun ia tahu efeknya tak akan lama bertahan. "Kita semua harus keluar sekarang! Peri itu semakin kuat!"

Tim Sulawesi memanfaatkan situasi dengan berlari menuju pintu keluar sambil membawa lima korban JaTI. Komandan Hassan, Letnan Jaka, dan Sersan Budi yang gagal menahan Diana dan Mahesa, ikut berlari bersama rombongan utama.

Di belakang mereka semua, peri kuno itu mengejar dengan kecepatan mengerikan, energi gelap menyapu ke segala arah, menghancurkan dinding dan plafon laboratorium.

"Dia berusaha mengejar kita!" teriak Faris sambil membentuk armor nikel untuk melindungi semua orang dari serangan energi gelap termasuk Darian yang dipanggulnya.

Tim gabungan—tim Sulawesi yang membawa lima korban JaTI dan tiga agen Singadwirya yang selamat—hampir mencapai pintu keluar kompleks. Namun peri kuno itu terbebas dari kepungan vulkanik Azzam dan bergerak semakin cepat, hampir meraih mereka.

"Dia hampir menangkap kita!" teriak Esa sambil membantu Ahya yang tersandung.

Tepat di ambang pintu keluar, peri kuno itu meluncurkan serangan energi gelap yang lebih dahsyat, hampir mengenai seluruh kelompok yang kabur. Berkat pertahanan Esa dan Faris, energi itu berhasil dipentalkan.

Sekejap, Azzam memberi arahan kilat dan aba-aba kepada timnya untuk bertindak lebih efektif.

"Dzaky, Esa, Faris, Rafi. Kita gabungkan kekuatan bersama-sama! Kalian tahu apa yang harus dilakukan!" Keempat rekan Azzam mengangguk seolah paham dengan instruksi sang pemimpin.

"BERSIAP!" teriak Azzam kepada tim Sulawesi.

Dalam sekejap, kelima anggota tim Sulawesi menyerahkan lima korban JaTI kepada Komandan Hassan, Letnan Jaka, dan Sersan Budi.

"Bawa mereka keluar! Sekarang!" perintah Azzam sambil menyerahkan Armand.

"Kami akan menahan makhluk itu!" tambah Dzaky sambil menyerahkan laptopnya kepada penyintas Singadwirya dan bersiap berbalik.

Tim Sulawesi berbalik menghadapi peri kuno yang sudah sangat dekat, mata merah menyala penuh amarah dan nafsu.

"Kalian pikir bisa menghentikan aku?!" teriak peri itu dengan suara menggema.

"Kami tidak perlu menghentikan," jawab Azzam sambil menyiapkan proyektil vulkanik terbesar yang pernah ia buat. "Kami hanya perlu menahan!"

"SEKARANG! SERANGAN GABUNGAN!"

Kelima anggota tim Sulawesi menyerang bersamaan dengan kekuatan penuh:

Azzam melemparkan puluhan proyektil batu vulkanik yang membeku dan mengeras menempel di seluruh tubuh peri, membentuk lapisan batu yang berat.

Esa mengeluarkan gelombang es yang dahsyat, membekukan kaki dan bagian bawah tubuh peri hingga tidak bisa bergerak bebas.

Dzaky menumbuhkan ratusan akar bambu raksasa yang menjerat lengan, tubuh, dan leher peri dengan kekuatan mencekik.

Faris menembakkan proyektil nikel yang menusuk dan menancap di berbagai bagian tubuh peri seperti penjara logam yang menyakitkan.

Rafi menciptakan getaran seismik dahsyat yang meruntuhkan seluruh langit-langit bangunan di atas peri.

Kombinasi kelima serangan itu berhasil—peri kuno itu terjerat, membeku, tertusuk, dan terkubur dalam hitungan detik.

"TIDAK MUNGKIN!" teriak peri itu sambil berusaha melepaskan diri. "AKU SUDAH BANGKIT! AKU TIDAK AKAN DIBATASI LAGI!"

"Maaf, tapi ini bukan zamanmu lagi," kata Azzam sambil mundur.

"KALIAN AKAN MENYESAL!" peri itu berteriak dengan amarah yang luar biasa ketika reruntuhan langit-langit mulai menimpanya. "AKU AKAN MENCARI KALIAN! TERUTAMA YANG SUDAH MEMBERIKAN ENERGI TERBAIK!! AKU AKAN KEMBALI UNTUK KALIAN!"

BRAKKK! GEGERRRR!

Seluruh langit-langit runtuh menimpa peri yang terjerat, menciptakan tumpukan reruntuhan yang besar tepat di dekat pintu utama.

Tim Sulawesi berlari keluar tepat sebelum ledakan dahsyat menghancurkan seluruh kompleks.


PELARIAN DARI PULAU TIKUS MATI

"Countdown tinggal 3 menit!" teriak Dzaky sambil berlari membawa laptopnya. "Semua harus keluar dari pulau ini!"

Tim gabungan berlari menuju pantai dengan kecepatan maksimal. Komandan Hassan, Letnan Jaka, dan Sersan Budi membawa lima korban JaTI dengan bantuan tim Sulawesi. Armand dan Darian yang tidak sadarkan diri dipanggul oleh Faris dan Esa. Ahya, Randal, dan Redana masih bisa berjalan meski dengan langkah terhuyung-huyung karena efek gas neural.

Di belakang mereka, suara reruntuhan yang bergeser terdengar mengerikan.

"Dia masih hidup!" teriak Rafi sambil merasakan getaran dari bawah tanah. "Peri itu masih bergerak di bawah reruntuhan!"

"Dia mencoba keluar!" tambah Azzam sambil melihat bebatuan besar mulai bergeser.

Mereka mencapai pantai tepat ketika countdown menunjukkan 1 menit tersisa. Kapal Singadwirya sudah menunggu dengan mesin menyala.

"LONCAT! SEKARANG!" teriak Komandan Hassan.

Semua orang melompat ke laut tepat ketika countdown mencapai nol.

BOOOOOOOOMMMMM!

Ledakan dahsyat menghancurkan seluruh Pulau Tikus Mati. Api menjulang tinggi, menerbangkan reruntuhan ke segala arah. Gelombang tsunami kecil menyapu area sekitar.

Namun dari tengah-tengah api dan kehancuran itu, sosok peri kuno masih terlihat bergerak. Tubuhnya terbakar namun belum mati—hanya tertahan sementara oleh ledakan dan reruntuhan.

"DIA MASIH HIDUP!" teriak Esa dengan horor melihat mata merah peri masih menyala di tengah api.

Kapal Singadwirya bergegas menjauh dari lokasi ledakan. Di geladak, kondisi lima anggota JaTI yang selamat sangat memprihatinkan.

Armand dan Darian masih tidak sadarkan diri, kondisi kritis dengan cedera parah. Ahya duduk terdiam dengan selendang yang sudah berubah dari hijau zamrud menjadi hitam pekat. Randal gemetar karena mantel teleportasinya masih tidak stabil—mantelnya kadang muncul dan menghilang tanpa kendali. Redana memegang sayap elang yang sudah mengkerut dan tidak berfungsi.

Tim Sulawesi juga mengalami trauma berat setelah menghadapi kekuatan supernatural yang jauh melampaui kemampuan manusia biasa.

"Kemampuan supernatural kami... hilang total," bisik Ahya dengan suara kosong.

Dr. Siska Wardani, kepala tim medis Singadwirya, langsung memeriksa kondisi semua korban. "Efek gas neural telah merusak koneksi Batu Langit dengan tubuh kalian. Pemulihan akan memakan waktu berbulan-bulan, mungkin bahkan permanen untuk beberapa kasus."

Ia menatap Armand dan Darian dengan prihatin. "Kedua rekan kalian ini... mereka diserang langsung oleh entitas supernatural. Kerusakan yang mereka alami jauh lebih parah."


EPILOG: Rahasia yang Terkubur

Tiga hari kemudian - Rumah Sakit Rahasia Singadwirya, Jakarta

Ahya, Randal, dan Redana duduk di ruang perawatan, tubuh membaik tapi kemampuan supernatural masih lemah. Di sebelah, Armand dan Darian masih koma.

Kolonel Bahtiar masuk dengan wajah serius, diikuti petinggi Singadwirya dan tim Sulawesi.

"Anak-anak, yang terjadi di Pulau Tikus Mati akan diklasifikasikan sebagai rahasia negara tingkat tertinggi."

"Kenapa, Pak?" tanya Ahya lemah.

"Kalau publik tahu ada makhluk kuno yang bisa dibangkitkan dengan teknologi modern, akan terjadi kepanikan massal. Dan musuh akan tahu metode mereka berhasil."

"Jadi kami harus bungkam selamanya?" tanya Redana pahit.

"Bahkan kepada sesama JATI dan Singadwirya yang tidak terlibat. Ini mandat langsung pemerintah pusat."

Dr. Siska melangkah maju. "Armand dan Darian jauh lebih parah dari kalian bertiga. Mereka mungkin butuh berbulan-bulan untuk sadar. Dan kemampuan mereka mungkin tidak akan sama lagi."

Keheningan mencekam.

"Ini salah saya," bisik Ahya bergetar. "Saya yang harusnya melindungi mereka."

"Bukan salah siapa-siapa," kata Redana. "Saya juga tidak cukup kuat."

"Teleportasi saya dibobol mudah," tambah Randal menyesal.

Azzam melangkah maju. "Kalian sudah bertempur sangat berani. Yang terjadi bukan karena kalian lemah, tapi karena musuh jauh lebih licik."

"Kami akan membantu proses pemulihan kalian," tambah Esa.

Tiga bulan kemudian - Rumah Sakit Rahasia Singadwirya

Armand dan Darian akhirnya membuka mata setelah koma yang panjang disambut keluarga. Darian terlebih dahulu sadar disusul beberapa hari kemudian Armand yang membuka mata. 

Beberapa hari kemudian, Ahya, Randal, dan Redana dipanggil ke Jakarta bersamaan. Setibanya, mereka duduk di samping ranjang Armand dan Darian yang tengah berada dalam fase pemulihan.

"Kalian... sudah sadar," kata Ahya dengan lega, meski matanya masih tampak kosong.

Dr. Siska yang masuk tak lama kemudian, baru menjelaskan kondisi mereka. "Armand, kamu mengalami gegar otak berat setelah melindungi Ahya dari serangan energi peri - koneksi mistik dengan pedang pusaka juga terputus permanen akibat trauma tersebut. Darian, kedua tanganmu dihancurkan energi gelap dari dalam ketika kamu menyerang peri, ditambah dampak bantingan brutal."

Armand menatap pedang pusaka Sunan Gunung Jati sudah retak di samping tempat tidurnya. "Iya... koneksi leluhur... benar-benar terputus."

Darian mencoba menggerakkan jari-jarinya, namun tidak ada respon sama sekali. "Kedua tangan saya... sudah tidak bisa digerakkan dengan benar lagi."

Pintu ruangan terbuka. Brigadir Jenderal Sutrisno masuk dengan wajah serius, diikuti beberapa perwira tinggi Singadwirya.

"Saya tahu kalian sudah menderita cukup banyak," katanya dengan nada berat. "Tapi ada satu hal terakhir yang harus kalian lakukan."

Ia meletakkan dokumen tebal di atas meja. "Kalian harus menandatangani perjanjian ini! Protokol keheningan tingkat rahasia negara tertinggi. Operasi Tenggelam tidak pernah terjadi."

"Apa maksudnya ini?" tanya Randal.

"Seperti disampaikan Kolonel Bahtiar, kalian tidak boleh menceritakan kejadian di Pulau Tikus Mati kepada siapa pun. Termasuk keluarga, teman, bahkan sesama anggota JaTI," jawab Brigadir Jenderal dengan tegas. "Cover story resmi: kalian berhasil menggagalkan serangan teroris besar-besaran dan mengalami cedera akibat ledakan bom."

"Kalau kalian menolak atau melanggar, kalian akan diklasifikasikan sebagai pengkhianat Singadwirya, bahkan lebih dari itu... kalian akan dicap pengkhianat negara. Hukuman pidana berlaku."

Ahya bangkit dari kursinya, mata menyala penuh amarah. "La haula wala quwwata illa billah! Kalian mau mengekang setelah mengirim kami ke misi buta tanpa memberitahu ancaman sebenarnya!"

"Ahya—" Brigadir Jenderal mencoba menenangkan.

"TIDAK!" bentak Ahya dengan suara keras. "Kami hampir tewas karena menghadapi makhluk yang bahkan tidak kami ketahui eksistensinya! Kalian berbohong soal tingkat ancaman!"

Mata Ahya menatap tajam setiap orang di ruangan. "Kalian pikir sumpah kerahasiaan akan membuat kami diam? Saya akan mencari Diana dan Mahesa sendiri, dengan atau tanpa bantuan kalian!"

Ahya keluar dari ruangan dengan langkah penuh amarah, meninggalkan semua orang terdiam.

Brigadir Jenderal menghela napas. "Bagaimanapun juga, dokumen ini harus ditandatangani. Keamanan negara bergantung pada kerahasiaan ini."

"Baik, pak. Tapi beri kami waktu untuk meyakinkan Ahya. Kami tak ingin dia bernasib dipenjara. Dia mungkin hanya emosi sesaat mengingat kembali trauma yang kami alami."

"Baik, saya mengerti," balas Brigadir Jemderal Sutrisno.

Beberapa hari kemudian, rekan-rekan JaTI yang ditugaskan ke pulau Tikus Mati, termasuk tim Sulawesi yang juga ikut dipanggil ke Jakarta, berhasil meyakinkan Ahya.

"Kalian yakin?" Ahya menegaskan dengan nada lemah dan bergetar.

"Demi kebaikanmu juga," ucap Armand. "Setidaknya kita harus tetap mempertahankan semangat dan tekad untuk menjaga Indonesia dan provinsi kita masing-masing dari Empat Naga... dan... Mahesa... Diana... dan peri mengerikan itu..."

"Mungkin akan tiba saatnya rahasia ini terkuak secara nasional. Dan jika ancaman itu muncul ke publik, tim kami dan tim kalian harus bersiap. Dan... ada waktunya kita harus jujur dan terbuka kepada teman-teman JaTI yang lain," ucap Azzam dengan bijak, disusul anggukan sembilan anggota JaTI lainnya.

Satu per satu, akhirnya kesepuluh anggota JaTI menandatangani surat kerahasiaan ini dengan hati berat. 

Mereka pun berusaha sebisa mungkin untuk menahan diri bercerita mengenai kejadian di Pulau Tikus Mati kepada siapapun sambil melawan trauma masing-masing... hingga waktunya tiba.

Beberapa bulan kemudian - Lokasi Tidak Diketahui

Di tempat lain, di sebuah bunker rahasia bawah tanah misterius, Diana dan Mahesa menatap layar monitor yang menampilkan peta Indonesia.

"Peri Penguasa Kegelapan sudah menyebar pengaruhnya," kata Diana dengan puas. "Energi yang dia serap dari lima JaTI itu membuatnya semakin kuat."

"Dan yang terbaik," tambah Mahesa sambil tersenyum dingin, "mereka semua masih hidup untuk menjadi eksperimen berikutnya suatu hari nanti."

Di layar monitor, titik-titik merah mulai muncul di berbagai daerah di Indonesia—tanda bahwa pengaruh peri kuno itu mulai menyebar.

"Fase pertama berhasil," bisik Diana. "Saatnya untuk fase kedua."

Mereka belum selesai dengan lima anggota JaTI muda itu. Dan ancaman yang mereka ciptakan baru saja dimulai.


TAMAT

Rahasia Operasi Tenggelam akan terus terkubur dalam kegelapan, menunggu hari ketika kebenaran akhirnya harus diungkap...



Created by Riantrie



Disclaimer: Cerita ini hanya bersifat pengenalan karakter dan atmosfer yang dibangun. Beberapa dialog serta narasi melibatkan AI dengan sentuhan kreator, menggunakan perintah detail berdasarkan karya orisinalnya dari satu adegan ke adegan lain. Visual generated menggunakan prompt AI sesuai dengan karakteristik yang telah ditetapkan kreator berdasarkan standar ilustrasi orisinal.



Komentar