Prelude: Metamorfosis
Langit Yogyakarta berwarna kelabu saat Darian Sentanu terbaring lemah di ranjang RSUD. Sudah tiga bulan ia terbaring koma setelah misi bersama Singadwirya yang berakhir tragis di sebuah pulau terpencil di utara Jakarta. Insiden yang tak pernah dijelaskan secara resmi oleh pihak manapun—hanya ada sumpah kerahasiaan dan laporan yang diklasifikasikan sebagai "Beyond Top Secret."
"Darian? Kau bisa dengar ibu, nak?"
Kelopak mata Darian perlahan terbuka, menyesuaikan dengan cahaya ruangan yang menyilaukan. Wajah ibunya yang berurai air mata adalah pemandangan pertama yang ia lihat.
"Ibu..." suaranya parau, hampir tak terdengar.
"Alhamdulillah," sang ibu memeluknya lembut. "Dokter! Dokter! Anak saya sudah sadar!"
Beberapa hari kemudian, Darian mencoba menggerakkan kedua tangannya. Rasa sakit luar biasa menjalar dari ujung jari hingga bahunya. Dalam mimpi buruknya, ia masih bisa merasakan kegelapan dan cahaya ungu yang mengerikan—sesuatu yang tak boleh diceritakan kepada siapapun.
"Kenapa tanganku, Bu?" tanyanya dengan nada frustasi. "Kenapa tidak bisa digerakkan dengan benar?"
Dokter Hendra, spesialis saraf yang menanganinya, membawa laporan hasil pemeriksaan. "Saraf-saraf di tanganmu mengalami kerusakan parah, Darian. Kerusakannya sangat aneh—seperti dihancurkan oleh sesuatu yang bukan dari dunia ini. Kita masih belum tahu apakah akan pulih sepenuhnya."
"Tapi aku harus bisa menggerakkan tanganku lagi! Aku..." Darian terdiam, nyaris membongkar identitasnya sebagai Penjaga Malam.
"Kau harus bersabar," ujar Dokter Hendra. "Rehabilitasi akan memakan waktu berbulan-bulan, mungkin bertahun-tahun."
***
Lima bulan berlalu. Darian kini bekerja di sebuah toko kelontong milik teman ibunya. Kedua tangannya masih gemetar tiap kali digunakan terlalu lama. Ia tak bisa lagi mengepal kuat, apalagi melakukan jurus-jurus silat yang dulu dikuasainya. Malam-malam diwarnai mimpi buruk tentang kegelapan dan sesuatu yang tak boleh diingat.
"Kau dengar kabar terbaru?" tanya Wawan, seorang pelanggan tetap toko. "Semalam ada perampokan lagi di Malioboro. Tiga orang terluka parah."
"Berita buruk," tanggap Pak Minto, pemilik warung kopi di seberang. "Sejak Penjaga Malam menghilang, kriminalitas makin merajalela."
"Entah kemana perginya pahlawan itu," timpal Wawan. "Katanya sih sudah tewas."
Darian menunduk, menatap tangannya yang gemetar. Ia masih ingat setiap detail malam-malam patrolinya sebagai Penjaga Malam, memberantas kejahatan di jalanan Yogyakarta. Kini, ia hanya bisa mendengarkan tanpa bisa berbuat apa-apa. Rahasia yang disimpannya terasa semakin berat—ada insiden yang tak boleh diceritakan, sumpah yang tak boleh dilanggar.
Malam harinya, Darian mencoba menghubungi Bayu Harsono, anggota Singadwirya yang dulu merekrutnya.
"Maaf, Darian," suara Bayu terdengar formal di telepon. "Keputusannya sudah final. Gelar Jawara Asli Yogyakarta kini dipegang oleh Atmaja Kusumadwipa. Kau tahu sendiri kondisimu tidak memungkinkan untuk kembali bertugas."
"Aku bisa berlatih lagi," Darian bersikeras. "Aku hanya butuh waktu."
"Waktu adalah kemewahan yang tidak kita miliki dalam perang melawan Empat Naga," Bayu menghela napas. "Tapi kami menawarkanmu posisi di kantor. Kau bisa membantu dari belakang meja."
"Jadi aku hanya akan jadi pegawai administrasi? Mengisi formulir dan berkas?" nada Darian meninggi. "Aku direkrut untuk bertarung, Bayu, bukan untuk menulis laporan!"
"Itu satu-satunya posisi yang bisa kami tawarkan dengan kondisimu sekarang," jawab Bayu tegas. "Pikirkan baik-baik."
Darian membanting telepon. Frustrasi dan kemarahan menguasainya. Ia menatap tangannya yang masih gemetar, lalu mengepalkannya sekuat tenaga, mengabaikan rasa sakit yang menusuk.
"Aku tidak akan menyerah," bisiknya pada diri sendiri.
***
Pintu rumah Bani terbuka setelah Darian mengetuknya beberapa kali. Sang paman menyambutnya dengan senyum hangat.
"Darian! Apa kabar, Nak? Sudah lama kau tidak kemari."
"Paman," Darian langsung ke pokok persoalan. "Aku butuh bantuan. Aku perlu seorang guru silat yang bisa melatihku kembali. Tanganku..." ia mengangkat kedua tangannya yang masih gemetar.
Bani mengerutkan dahi. "Untuk apa, Darian? Kau sudah tidak perlu bertarung lagi. Singadwirya sudah melepaskanmu, bukan?"
Darian terdiam sejenak, lalu membuka tas yang dibawanya. Ia mengeluarkan sehelai kain hitam dengan aksen merah—topeng yang selama ini dipakainya sebagai Penjaga Malam.
"Ya Allah..." Bani terhenyak. "Jadi selama ini... kau..."
"Ya, Paman. Akulah Penjaga Malam," Darian menatap pamannya. "Dan aku harus kembali. Kriminalitas semakin merajalela. Singadwirya hanya fokus pada Empat Naga, mengabaikan kejahatan jalanan yang meresahkan masyarakat."
Bani menggelengkan kepala, tak percaya dengan pengakuan keponakannya. "Darian, itu berbahaya. Apalagi dengan kondisi tanganmu sekarang."
"Karena itu aku butuh guru silat terbaik," Darian bersikeras. "Seseorang yang bisa membantuku pulih, mungkin dengan metode yang tidak konvensional."
Bani terdiam lama, tampak menimbang-nimbang.
"Ada satu orang," akhirnya ia berkata. "Namanya Ki Petengan."
"Ki Petengan?" Darian mengernyit. "Nama yang aneh."
"Dia bukan guru silat biasa," jelas Bani. "Metodenya... tidak ortodoks. Tapi dia adalah salah satu yang terbaik yang pernah kutemui."
"Paman tahu ilmu silat?" tanya Darian terkejut.
Bani tersenyum misterius. "Ada banyak hal yang tidak kau ketahui tentangku, Darian. Sebelum menjadi pegawai negeri biasa, aku pernah menjalani kehidupan yang berbeda."
"Bisakah Paman mengantarku padanya?"
"Bisa. Tapi aku harus memperingatkanmu," Bani menatap Darian serius. "Ki Petengan suka meminta hal-hal aneh sebagai syarat menerima murid. Saat aku belajar padanya dulu, aku harus membantu mengungsikan korban letusan Merapi selama berhari-hari."
"Apapun syaratnya, aku siap," jawab Darian mantap.
***
Rumah Ki Petengan terletak di kaki bukit, jauh dari pemukiman penduduk. Bangunan kayu tua bergaya Jawa itu terlihat suram di bawah naungan pohon-pohon besar. Darian dan Bani berdiri di depan pintu, menunggu setelah mengetuk beberapa kali.
Seorang pria tua bertubuh tegap membuka pintu. Rambutnya yang putih tergerai hingga bahu, kontras dengan kulit wajahnya yang kecoklatan dan penuh kerutan. Matanya tajam mengamati kedua tamunya, seolah bisa merasakan bayangan yang dibawa Darian.
"Bani," ia menyapa dengan suara dalam. "Tidak kusangka kau masih ingat jalan ke rumahku."
"Mohon maaf jarang berkunjung, Ki," Bani membungkuk hormat. "Saya membawa keponakan saya, Darian."
Ki Petengan mengalihkan pandangannya pada Darian, mengamatinya dari ujung kepala hingga kaki. Tatapannya berhenti pada kedua tangan Darian yang sedikit gemetar. Ada sesuatu yang lain yang ia rasakan—sesuatu gelap yang menempel pada aura pemuda itu.
"Untuk apa kau kemari, anak muda?" tanyanya dingin.
"Saya ingin belajar silat dari Anda, Ki," jawab Darian.
"Aku bukan guru yang menerima murid sembarangan," Ki Petengan berbalik masuk, tetapi membiarkan pintu terbuka—isyarat agar mereka mengikutinya.
Di dalam, Bani menjelaskan situasi Darian, termasuk sepak terjangnya sebagai Penjaga Malam dan anggota JaTI, serta insiden yang membuatnya cacat—meski ia harus berhati-hati dengan detail karena sumpah kerahasiaan.
"Jadi, kau ingin kembali menjadi pahlawan," Ki Petengan menatap Darian dengan pandangan menyelidik. "Berikan tanganmu."
Darian mengulurkan kedua tangannya. Ki Petengan memeriksanya dengan teliti, menekan beberapa titik dan mengamati reaksi Darian.
"Kerusakan sarafnya parah," ucap Ki Petengan akhirnya. "Dan ada jejak energi asing yang menggerogoti dari dalam. Kau tidak akan bisa mengepalkan tanganmu dengan kuat lagi. Carilah pekerjaan lain yang tidak membutuhkan kekuatan tangan."
"Tidak!" Darian berseru. "Saya harus kembali! Yogyakarta membutuhkan Penjaga Malam!"
"Darian!" Bani menegurnya. "Jaga sikapmu."
"Maaf, Ki," Darian menunduk. "Tapi saya tidak bisa hanya diam melihat kejahatan merajalela. Sejak kecil saya memang temperamental dan suka berkelahi. Perguruan Persaudaraan Jiwa mengajarkan saya mengendalikan emosi dan menggunakan kekuatan untuk kebaikan. Menjadi Penjaga Malam, bagi saya, adalah panggilan jiwa."
Ki Petengan terdiam, matanya tak lepas dari Darian. Suasana hening menyelimuti ruangan itu.
"Ada satu cara," akhirnya Ki Petengan berkata. "Tapi kau harus merelakan kedua tanganmu."
"Apa maksudnya?" tanya Bani terkejut.
"Darian, sebaiknya kita pulang saja," Bani menarik lengan keponakannya. "Ini tidak benar."
"Jelaskan dulu, Ki," Darian mengabaikan tarikan pamannya.
"Aku akan mengganti tanganmu dengan yang baru," jawab Ki Petengan singkat. "Tapi prosesnya berisiko dan tidak bisa dibatalkan setelah dimulai."
"Maksud Anda... amputasi?" Darian bertanya ragu.
"Jangan gila!" Bani berseru. "Darian, kita pergi sekarang!"
"Aku sanggup," ucap Darian tegas, matanya menatap lurus Ki Petengan. "Jika itu satu-satunya cara."
"Darian!" Bani mencengkeram bahunya. "Kau tidak tahu apa yang kau lakukan!"
"Aku tahu persis, Paman," Darian balas menatap Bani. "Selama lima bulan terakhir, aku melihat Yogyakarta kembali dikuasai kejahatan. Aku melihat orang-orang ketakutan. Aku tidak bisa hidup dengan tangan lumpuh sambil menonton kota ini hancur!"
Perdebatan sengit terjadi antara Bani dan Darian. Ki Petengan hanya mengamati dalam diam.
"Baiklah," akhirnya Bani menyerah. "Tapi aku akan tetap di sini, mengawasi prosesnya."
Ki Petengan mengangguk. "Ikuti aku."
Ia membuka sebuah pintu tersembunyi di balik rak buku, menampakkan tangga turun yang gelap. Mereka menuruni tangga itu dan sampai di sebuah ruangan luas yang dipenuhi peralatan canggih—kontras tajam dengan tampilan tradisional rumah di atasnya.
"Ya Allah..." Bani terkesiap.
Ruangan itu dipenuhi berbagai macam lengan dan kaki prostetik, terbuat dari berbagai material mulai dari logam hingga material transparan yang berkilau. Di tengah ruangan terdapat mesin raksasa dengan tabung kristal di pusatnya.
"Kau bukan hanya guru silat," ucap Darian takjub.
"Aku seorang ilmuwan," jawab Ki Petengan. "Dan nama asliku adalah Sarwono."
Ki Petengan mendekati mesin kristal, menyalakannya hingga kristal di dalamnya bercahaya ungu kebiruan. "Di dalam kristal ini terkandung energi kinetik yang tak ada duanya di dunia. Dengan energi ini, aku menciptakan anggota tubuh prostetik yang tidak hanya berfungsi normal, tapi jauh melampaui kemampuan manusia biasa."
"Bagaimana Anda mendapatkan kristal itu?" tanya Darian.
"Aku mencurinya," jawab Ki Petengan singkat. "Dari organisasi kriminal bernama Belati Emas."
Ki Petengan menunjukkan sepasang tangan prostetik yang terpajang di dinding. "Ini akan menjadi tanganmu yang baru. Dengan energi kinetik dari kristal, kau akan memiliki kekuatan dan kecepatan yang tidak pernah kau bayangkan sebelumnya."
"Tapi ada risikonya," Ki Petengan melanjutkan. "Energi ini akan menyebar ke seluruh tubuhmu. Akan mengubahmu, secara fisik dan mungkin mental. Dan prosesnya... sangat menyakitkan."
"Tidak! Ini gila!" Bani berteriak. "Darian, ayo kita pergi dari sini. Orang ini berbahaya!"
"Kalau kau ingin pergi, silakan," Ki Petengan menatap Bani dingin. "Tapi keponakanmu sudah memutuskan."
"Paman," Darian memegang bahu Bani. "Aku sudah kehilangan segalanya. Identitasku sebagai Penjaga Malam, posisiku di Singadwirya, dan hampir kehilangan tanganku. Ini adalah kesempatan terakhirku untuk kembali."
"Tapi Darian—"
"Keluarlah, Paman," Darian tersenyum. "Aku akan baik-baik saja."
Dengan berat hati, Bani melangkah keluar dari laboratorium. Ki Petengan mengunci pintu dan mempersilakan Darian berbaring di meja operasi.
"Kau yakin?" tanya Ki Petengan sekali lagi.
"Yakin," jawab Darian mantap.
Operasi berlangsung selama lima jam. Dari luar, Bani mendengar suara-suara mesin dan sesekali jeritan kesakitan Darian yang membuat bulu kuduknya meremang. Berkali-kali ia mencoba mendobrak pintu, tapi sia-sia.
"Tenang, Bani," suara Ki Petengan terdengar dari dalam. "Keponakanmu baik-baik saja. Ini adalah bagian dari proses."
Suara jeritan Darian tiba-tiba berhenti. Bani panik luar biasa.
"Darian! Darian!" ia berteriak sambil menggedor pintu.
"Paman," tiba-tiba suara Darian terdengar dari dalam. "Aku baik-baik saja."
Pintu terbuka, dan Darian berdiri di sana. Kedua tangannya kini digantikan dengan lengan prostetik berwarna hitam dengan aksen ungu yang berpendar halus. Darian menggerakkan jari-jarinya yang baru, tampak takjub dengan kelancaran gerakannya.
"Energi kinetik sudah menyatu dengan sistemnya," jelas Ki Petengan. "Sekarang kita uji kemampuannya."
Ki Petengan memasang kuda-kuda, mengisyaratkan Darian untuk menyerang. Darian ragu-ragu pada awalnya, tapi kemudian meluncurkan pukulan. Ki Petengan mengelak dengan mudah dan membalas dengan tendangan yang telak mengenai Darian, membuatnya terhempas.
"Lambat," komentar Ki Petengan. "Gunakan energi barumu."
Darian bangkit, merasakan sesuatu yang berbeda dalam tubuhnya. Ia memusatkan pikiran pada tangannya, dan tiba-tiba cahaya ungu berpendar lebih terang. Dengan kecepatan yang mengejutkan, ia menyerang Ki Petengan.
Pertarungan berlangsung beberapa menit. Gerakan Darian semakin cepat dan kuat, hampir menyamai Ki Petengan. Akhirnya, Darian berhasil melancarkan pukulan yang nyaris mengenai wajah Ki Petengan, tapi berhasil ditangkis pada detik-detik terakhir.
"Bagus," Ki Petengan mengangguk puas.
"Bagaimana kau bisa bertarung sebaik itu?" tanya Bani heran. "Darian memiliki lengan dengan energi kinetik, tapi kau..."
Ki Petengan membuka jubahnya, menampakkan tubuhnya yang ternyata sebagian besar adalah prostetik dari bahan yang sama dengan tangan Darian. Dari bawah dada hingga kedua kaki, tubuh Ki Petengan adalah hasil rekayasa dengan energi kinetik.
"Ya Allah..." Bani dan Darian terkesiap bersamaan.
"Dulunya aku adalah Sarwono, seorang ilmuwan yang bekerja untuk organisasi kriminal bernama Belati Emas," Ki Petengan mulai bercerita. "Aku tidak tahu awalnya bahwa mereka adalah organisasi jahat. Aku hanya tahu mereka membayarku untuk meneliti energi kinetik."
"Saat aku menyadari niat jahat mereka dan menolak melanjutkan penelitian, mereka membunuh istri dan anakku," suara Ki Petengan bergetar. "Aku melaporkan mereka ke polisi, tapi bukannya mendapat keadilan, aku malah dipenjara selama lima tahun karena dituduh terlibat dalam kejahatan mereka."
"Setelah bebas, aku memperdalam ilmu silat dan bersumpah membalaskan dendam. Aku menyamar, menyusup ke salah satu markas Belati Emas, dan mencuri kristal kinetik ini."
"Awalnya, aku terobsesi ingin menciptakan replika istri dan anakku dengan teknologi prostetik dan energi kristal," lanjutnya. "Tapi selalu gagal. Kemudian aku mengganti sebagian tubuhku sendiri untuk bisa menghadapi Belati Emas."
"Saat mengetahui bahwa Belati Emas ternyata punya hubungan dengan Empat Naga melalui pasar gelap mereka, aku sadar pertarungan ini terlalu besar untukku seorang."
Bani memotong cerita Ki Petengan. "Aku tidak terima keponakanku dijadikan alat untuk balas dendammu!"
"Bagaimana kalau aku menolak misimu?" tanya Darian tenang.
"Jika kau menolak," Ki Petengan menatapnya tajam, "kejahatan akan terus merajalela di Yogyakarta dan Jawa Tengah. Belati Emas semakin kuat, dan mereka akan memasok senjata dan narkoba yang semakin banyak ke jalanan."
"Lagipula," Ki Petengan menoleh pada Bani, "ini adalah bagian dari ujian untuk menjadi muridku. Bani, kau ingat ujianmu dulu? Lebih mudah karena kau tidak cacat dan tidak punya rekam jejak sebagai Penjaga Malam atau anggota JaTI."
"Dan jika Darian benar-benar menolak," tambahnya, "aku akan mengalahkannya di sini, mencabut tangan prostetiknya, dan mengembalikan tangan aslinya yang lumpuh. Energi kinetik dalam tubuhnya akan perlahan menghilang, dan ia akan kembali pada keadaan sebelumnya, bahkan mungkin lebih buruk."
Darian terdiam, memikirkan semua yang dikatakan Ki Petengan. Ia menatap kedua tangannya yang baru, merasakan kekuatan yang mengalir dalam tubuhnya.
"Aku setuju," akhirnya Darian berkata. "Aku akan membantumu melawan Belati Emas."
"Darian!" seru Bani tak percaya.
"Paman," Darian menatap Bani. "Aku sudah kehilangan terlalu banyak. Tapi sekarang, aku punya kesempatan baru. Untuk melindungi Yogyakarta lagi, dengan cara yang berbeda."
Bani menghela napas panjang, tahu ia tak bisa mengubah keputusan keponakannya. "Jika terjadi sesuatu padanya," ia mengancam Ki Petengan, "kau akan berurusan denganku."
"Aku jamin keselamatannya," jawab Ki Petengan tenang.
Ki Petengan berjalan mendekati Darian, menyentuh bahunya. "Mulai hari ini, kau bukan lagi Penjaga Malam. Kau adalah Satrio Petengan Saka Ngayogyakarta—Ksatria Kegelapan dari Yogyakarta."
Darian mengangguk, menerima identitas barunya. Dalam hati, ia bertanya-tanya apakah keputusannya tepat, apakah jalan yang dipilihnya akan membawa kebaikan atau justru kehancuran. Tapi satu hal yang pasti—tidak ada jalan kembali.
Energi ungu di tangannya berpendar kuat, seolah merespons tekadnya yang membulat. Rahasia masa lalunya—tentang insiden yang tak boleh diceritakan, tentang kegelapan dan cahaya ungu yang membayanginya—kini mendapat bentuk baru. Darian Sentanu telah mati. Yang terlahir adalah Satrio Petengan, dengan kekuatan untuk menghadapi kegelapan yang pernah menghancurkannya.
Berlanjut ke Chapter 1 kisah dengan Ki Petengan, berburu Belati Emas!
Disclaimer: Cerita ini hanya bersifat pengenalan karakter dan atmosfer yang dibangun. Dialog serta beberapa narasi melibatkan AI dengan sentuhan kreator, menggunakan prompt yang detail dari karya orisinalnya dari satu adegan ke adegan lain.
Komentar
Posting Komentar